Tiga tahun sudah Mak terbaring di peristirahatan terakhirnya. Namun mimpi-mimpi tentangnya masih kerap bergelayut memenuhi malam-malam saya. Menjadi bunga tidur yang terkadang membuat layu. Betapa tidak, sudah empat tahun saya tinggal bersama beliau selama menimba ilmu di ibu kota. Beragam kenangan memenuhi otak bawah sadar saya. Menghadirkan bahagia, haru, kesal dan kecewa. Akan tetapi duka yang terdalam adalah saat kami mendapati saat terakhirnya masih dalam keadaan non-muslim. Padahal Allah telah mengingatkan kami dalam surat cintaNya, "Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, ..." (Q.S. At-Tahrim: 6).
Kulihat kekecewaan itu masih membekas di hati Mama saat beliau mengenang Mak. Butiran bening kerap mengalir membasahi kedua pipinya. Ibu kandungnya belum bersyahadat hingga saat ajal menjemput. Namun apa daya kami hanya manusia biasa yang tak mampu memberi hidayah kepada orang-orang yang kami sayangi. Sebagaimana Nabi Nuh yang tak bisa membuat anaknya, Kan'an, memeluk islam. Istri Nabi Luth juga demikian. Pun Nabi Ibrahim yang memiliki ayah seorang pembuat dan penyembah berhala.
Bahkan Nabi Muhammad SAW tak kuasa meyakinkan sang paman, Abu Thalib, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Hingga detik terakhirnya, Abu Thalib masih keukeuh memegang teguh agama nenek moyangnya. Meski ia tahu bahwa agama yang dibawa keponakannya benar adanya. "Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi pertunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (Q.S. Al-Qasas: 56)
Kini harapan yang tersisa hanya doa yang tak henti kami panjatkan agar saudara-saudara kami mendapat cahaya islam dariNya. Ya, hanya Allah yang bisa memberi hidayah kepada siapa yang dikehendakiNya. Maka bersyukurlah kita yang telah menggenggam hidayah islam. Peluklah ia erat dan jangan sekalipun biarkannya terlepas dari qalbu. Dan janganlah lupa, sejatinya hidayah itu dijemput. Bukan ditunggu. Bagi kita yang tak mengusahakan hidayah itu agar terus terpancar, maka ianya kan meredup hingga padam tak berbekas.
Ya rabb, jadikanlah hati kami dan anak cucu keturunan kami agar tunduk hanya padaMu. Agar hati-hati ini kan terpaut hingga ke surga nanti. Aamiin ya mujibassailin..
Kulihat kekecewaan itu masih membekas di hati Mama saat beliau mengenang Mak. Butiran bening kerap mengalir membasahi kedua pipinya. Ibu kandungnya belum bersyahadat hingga saat ajal menjemput. Namun apa daya kami hanya manusia biasa yang tak mampu memberi hidayah kepada orang-orang yang kami sayangi. Sebagaimana Nabi Nuh yang tak bisa membuat anaknya, Kan'an, memeluk islam. Istri Nabi Luth juga demikian. Pun Nabi Ibrahim yang memiliki ayah seorang pembuat dan penyembah berhala.
Bahkan Nabi Muhammad SAW tak kuasa meyakinkan sang paman, Abu Thalib, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Hingga detik terakhirnya, Abu Thalib masih keukeuh memegang teguh agama nenek moyangnya. Meski ia tahu bahwa agama yang dibawa keponakannya benar adanya. "Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi pertunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (Q.S. Al-Qasas: 56)
Kini harapan yang tersisa hanya doa yang tak henti kami panjatkan agar saudara-saudara kami mendapat cahaya islam dariNya. Ya, hanya Allah yang bisa memberi hidayah kepada siapa yang dikehendakiNya. Maka bersyukurlah kita yang telah menggenggam hidayah islam. Peluklah ia erat dan jangan sekalipun biarkannya terlepas dari qalbu. Dan janganlah lupa, sejatinya hidayah itu dijemput. Bukan ditunggu. Bagi kita yang tak mengusahakan hidayah itu agar terus terpancar, maka ianya kan meredup hingga padam tak berbekas.
Ya rabb, jadikanlah hati kami dan anak cucu keturunan kami agar tunduk hanya padaMu. Agar hati-hati ini kan terpaut hingga ke surga nanti. Aamiin ya mujibassailin..
0 $type={blogger}:
Posting Komentar