Seorang anak perempuan menitikkan air mata. Matanya tampak memerah. Ia kerap berlaku demikian saat tak bisa mengerjakan soal yang saya berikan. Pun saat ia tertinggal dari teman-temannya yang sudah selesai mengerjakan. Setiap akan memberikan latihan soal, saya selalu terlebih dahulu memberikan penjelasan padanya. Saya juga menanyakan kosakata sulit yang belum ia pahami. Atau apakah ia sudah mengerti instruksi yang saya berikan. Saat ia berhasil menjawab dengan baik, saya kerap melontarkan kalimat pujian "Good job!" seraya mengacungkan jempol. Ketika ia tak bisa mengerjakan soal, saya selalu menerangkan kembali dan memotivasinya dengan mengatakan "Kamu pasti bisa!"
Akan tetapi, sikap berulang yang ia tunjukkan membuat saya berpikir. Ia adalah tipikal anak introvert. Pendiam, suka memendam sesuatu dan sejenisnya. Ia tak banyak bicara dibanding teman-temannya yang lain. Bahkan saat awal masuk, ia tak berani bertanya sesuatu yang belum ia mengerti. Saya merasa ia tertekan. Entah apa ada sesuatu yang membuatnya mencapai target tertentu sementara kemampuannya tak sebanding. Akibatnya ia menjadi tidak percaya diri dan merasa dirinya tidak bisa.
Padahal setiap anak itu unik. Mereka memiliki potensinya masing-masing. Mungkin ada anak yang tidak pandai dalam hal pelajaran tapi ketrampilan seninya bagus. Atau ada anak yang cerdas namun tidak menguasai kemampuan bersosialisasi. Seorang pakar pendidikan dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, Thomas Armstrong mengungkapkan, ada delapan jenis kecerdasan anak menurut teori Multiple Intelligences atau kecerdasan multipel. Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh pakar pendidikan yang juga dari Universitas Havard, Howard Gardner. Howard membaginya menjadi delapan jenis kecerdasan anak, yaitu word smart (kecerdasan linguistik), number smart (kecerdasan logika atau matematis), self smart (kecerdasan intrapersonal), people smart (kecerdasan interpersonal), music smart (kecerdasan musikal, picture smart (kecerdasan spasial), body smart (kecerdasan kinetik), dan nature smart (kecerdasan naturalis). Lagipula keceradasan itu tidak hanya mencakup IQ (kecerdasan inteligensi) tetapi juga EQ (kecerdasan emosinal) dan SQ (kecerdasan spiritual). Semoga kita sebagai orang tua dapat memahami potensi anak-anak kita dan mengarahkannya sesuai kemampuan yang mereka miliki.
Akan tetapi, sikap berulang yang ia tunjukkan membuat saya berpikir. Ia adalah tipikal anak introvert. Pendiam, suka memendam sesuatu dan sejenisnya. Ia tak banyak bicara dibanding teman-temannya yang lain. Bahkan saat awal masuk, ia tak berani bertanya sesuatu yang belum ia mengerti. Saya merasa ia tertekan. Entah apa ada sesuatu yang membuatnya mencapai target tertentu sementara kemampuannya tak sebanding. Akibatnya ia menjadi tidak percaya diri dan merasa dirinya tidak bisa.
Padahal setiap anak itu unik. Mereka memiliki potensinya masing-masing. Mungkin ada anak yang tidak pandai dalam hal pelajaran tapi ketrampilan seninya bagus. Atau ada anak yang cerdas namun tidak menguasai kemampuan bersosialisasi. Seorang pakar pendidikan dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, Thomas Armstrong mengungkapkan, ada delapan jenis kecerdasan anak menurut teori Multiple Intelligences atau kecerdasan multipel. Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh pakar pendidikan yang juga dari Universitas Havard, Howard Gardner. Howard membaginya menjadi delapan jenis kecerdasan anak, yaitu word smart (kecerdasan linguistik), number smart (kecerdasan logika atau matematis), self smart (kecerdasan intrapersonal), people smart (kecerdasan interpersonal), music smart (kecerdasan musikal, picture smart (kecerdasan spasial), body smart (kecerdasan kinetik), dan nature smart (kecerdasan naturalis). Lagipula keceradasan itu tidak hanya mencakup IQ (kecerdasan inteligensi) tetapi juga EQ (kecerdasan emosinal) dan SQ (kecerdasan spiritual). Semoga kita sebagai orang tua dapat memahami potensi anak-anak kita dan mengarahkannya sesuai kemampuan yang mereka miliki.
0 $type={blogger}:
Posting Komentar