Dalam mendidik tentunya diperlukan landasan yang kuat dan bekal yang memadai. Salah satunya adalah akhlak. Mendidik dengan akhlak dapat diartikan bahwa guru sebagai sosok pendidik tidak hanya pandai mengingatkan peserta didiknya agar berperilaku sesuai norma masyarakat maupun syariat islam. Akan tetapi lebih dari itu, seorang pendidik sejatinya memberikan teladan terhadap apa yang telah disampaikannya. Guru sebagai pendidik berperan tidak hanya dalam mentransfer ide atau gagasan positif untuk dijalankan semata. Namun, seorang pendidik perlu memahami bahwa hakikat pendidikan yang sebenarnya adalah memberikan contoh atau teladan yang baik.
Sebagaimana peribahasa “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari," sesuatu yang dikerjakan oleh seorang guru akan tertanam secara tidak langsung dalam pikiran anak didiknya. Pada gilirannya, hal tersebut akan menjadi contoh tindakan untuk dilakukan. Apabila teladan tersebut positif, maka anak didiknya akan melakukan hal yang positif pula. Sebaliknya, jika yang dilakukan sang guru tak layak untuk dikerjakan, maka imbasnya adalah kerusakan tingkah laku anak didiknya akibat meniru perbuatannya. Sebab, tumbal dari perilaku seorang pendidik adalah anak-anak didik sebagai generasi penerus masa depan. Mereka nantinya yang akan menanggung kerusakan peradaban akibat kesalahan seorang guru dalam mendidik.
Oleh karena itu, dalam mengarahkan anak-anak didik agar memiliki akhlak yang baik diperlukan pola yang mendukung ke arah tersebut, yakni adanya keteladanan dari figur guru sebagai seorang pendidik. Perilaku guru yang ‘berbicara’ dengan tindakan akan lebih ampuh daripada lisan yang berbicara. Sebab, peserta didik akan melakukan proses imitasi dari apa yang pendidik lakukan. Dalam mendidik dengan akhlak melalui keteladanan, seorang guru perlu mempersiapkan tiga hal:
1. Pengetahuan yang memadai.
Dalam mendidik dengan akhlak, seorang guru memerlukan adanya bekal pengetahuan yang memadai. Dalam hal ini, seorang pendidik sejatinya bersikap terbuka terhadap ilmu-ilmu baru yang belum diketahuinya dan memiliki kemauan untuk bermetamorfosis menjadi pribadi yang lebih baik. Pengetahuan ini mencakup landasan ilmu dalam berakhlak yang benar menurut norma-norma yang ada dalam masyarakat maupun syariat islam. Tanpa landasan ilmu yang kuat dan bekal pemahaman yang cukup, seorang pendidik tidak akan dapat memberikan keteladan seperti yang diharapkan. Kalaupun memang dapat memberikan contoh, keteladanan yang diberikan bersifat ala kadarnya atau malah menyimpang dari norma-norma dan kaidah-kaidah yang telah digariskan. Adalah menjadi tanggung jawab semua pendidik untuk mempunyai bekal ilmu pengetahuan yang memadai dalam mendidik calon generasi masa depan. Sebagaimana disebutkan dalam Alquran surat Al-Isra’ ayat 36 yang artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.”
2. Penerapan ilmu yang dimiliki pendidik dalam akhlak keseharian.
Seorang pendidik diharapkan menjadi pribadi yang dapat menampilkan akhlak yang baik. Sejalan dengan hal ini, para ulama berpendapat bahwa ilmu dan pengamalan harus didahulukan sebelum ucapan dan perbuatan. Ilmu pengetahuan yang dimiliki seorang guru seyogyanya dapat diterapkan dalam tingkah laku keseharian. Penerapan ilmu tersebut dilakukan dalam rangka pengembangan diri agar dapat menjadi figur guru yang berakhlakul karimah. Sehingga pada gilirannya seorang pendidik dapat menjadi sosok teladan bagi anak-anak didiknya. Terkait hal ini, adalah kewajiban bagi setiap umat islam untuk menyampaikan kebaikan dan mengajak kepada yang baik, terlebih bagi seorang guru. Akan tetapi, bukanlah hal yang patut untuk dilakukan apabila seorang pendidik mengatakan apa yang tidak dikerjakannya. Seperti halnya yang tercantum dalam Alquran surat Ash-Shaff ayat 2-3: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.”
3. Kemampuan menyeru anak-anak didiknya kepada kebaikan.
Dalam mendidik anak-anak didiknya, seorang guru selayaknya memiliki kemampuan untuk mengajak anak-anak didiknya agar berakhlak mulia, tentunya disertai contoh tindakan konkret. Seorang pendidik sejatinya adalah sosok yang tak kenal lelah untuk menyeru kepada kebaikan. Tak kehabisan energi untuk terus memotivasi anak-anak didiknya dalam melakukan hal-hal yang positif. Sebagaimana yang digambarkan dalam Alquran surat Fushilat ayat 33: “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (manusia) kepada Allah dan beramal shalih dan berkata, ‘Bahwasanya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslim)’.”
Kesimpulannya, dalam mendidik dengan akhlak seorang guru sejatinya menampilkan keteladanan yang dapat dijadikan contoh bagi anak-anak didiknya. Untuk dapat menjadi figur panutan tersebut, seorang guru seyogyanya mempersiapkan beberapa hal. Sosok pendidik sejati selayaknya memiliki bekal ilmu yang memadai dengan cara memperbarui pengetahuan dalam berakhlak yang baik. Selain itu, guru juga diharapkan mampu menerapkan ilmu yang dimilikinya dalam perilaku keseharian sehingga berimbas positif terhadap pembentukan akhlak baik bagi dirinya pribadi maupun peserta didiknya. Yang tak kalah penting, seorang pendidik layaknya mempunyai kemampuan untuk menyeru anak-anak didiknya kepada kebaikan. Apabila ketiga hal tersebut dimiliki oleh seorang guru, maka mendidik dengan akhlak insyaa Allah bukanlah perkara sulit.
0 $type={blogger}:
Posting Komentar