Malam itu, seorang anak laki-laki kelas 3 SD mengadu kalau teman perempuannya baru saja punya pacar. Saya pun mengobrol dengannya. Awalnya gadis kecil itu menyangkal. Tapi kemudian ia mengaku kalau baru saja ditembak teman sekelasnya dan diberi cincin. Ia bilang mereka saling berkirim surat saat guru tidak ada di kelas. Pada jam istirahat, sang cowok kerap mentraktirnya makanan ringan atau memberi uang dua ribu rupiah. Anak perempuan lain yang juga masih duduk di bangku kelas 3 bercerita hal yang serupa. Ia bilang cowok teman sekelasnya nembak dan memberikannya cincin.
"Dia bilang apa?" tanya saya.
"I love you. Tapi saya gak suka bu, dia yang suka," kata gadis berkulit sawo matang itu.
"Trus kamu jawab apa?"
"I love you too."
"Berarti kamu juga suka sama dia."
"Dia cium saya, di pipi. Lima kali."
"Bilang-bilang dulu gak?"
"Gak. Saya juga kaget."
"Kamu marah?"
"Gak. Saya diem aja. Tapi dia udah meninggal kena leukimia."
Saya pun mengurut dada. "Suka sama lawan jenis itu normal. Laki-laki suka lihat perempuan cantik dan perempuan juga suka sama laki-laki ganteng. Tapi harus bisa dijaga diri jangan sampai melalukan hal-hal yang tidak baik. Emang buat apa sih pacaran?"
"Buat nikah. Biar punya anak." Seorang anak laki-laki nyeletuk.
"Emang mau nikah sekarang?"
"Gaaaak....." lagi-lagi mereka kompak menjawab.
"Supaya mengenal, bu," kata anak perempuan yang baru jadian.
"Kan mengenal tidak harus pacaran, bisa berteman"
"Tapi pacar saya itu meskipun jelek sholih, bu."
"Kok tahu?"
"Iya, dia rajin sholat. Tapi ya gitu kalau masalah pelajaran gak selesai-selesai."
"Uti kamu tahu?"
"Gak, bu. Jangan sampek."
Beberapa kalimat pertanyaan yang memberikan pilihan mana yang lebih baik terkait pacaran pun meluncur dari bibir saya. Saya memakai analogi dua buah kue.
"Kamu lebih suka yang mana, kue yang dibungkus rapat di toko atau kue yang terbuka di pinggir jalan dan banyak tersentuh tangan?"
"Kue yang di toko!!" jawab semua anak serempak.
"Kenapa?"
Anak-anak kelas 3 SD itu berebut mengacungkan tangan untuk menjawab.
"Karena higienis bu tidak kena lalat."
"Nah, kue yang di toko itu orang-orang yang menutup aurat dan tidak pacaran. Diri mereka terjaga. Kalau kue di pinggir jalan itu seperti orang yang pacaran. Orang yang pacaran disentuh-sentuh banyak orang dan tidak bersih lagi. Jadi, gak usah pacaran."
Mereka diam mendengarkan. Kebanyakan tidak mempertanyakan lagi. Tapi dari raut wajah anak perempuan tadi tampaknya masih ingin pacaran.
*****
Lain halnya dengan anak-anak kelas 5 dan 6 SD yang sudah baligh. Mereka kerap berbisik tentang pacarnya, meledek temannya atau menitipkan salam atau pesan dari sang cowok. Ada yang mulai pacaran karena comblang dari kakak kelasnya. Saya kenal si cowok pacarnya yang kerap menilap uang SPP les untuk 'membelanjai' kakak kelas ini.
Untuk anak-anak yang lebih dewasa saya sampaikan dalil dalam Al-Qur'an yang melarang mendekati zina, seperti pacaran. Pun menceritakan bahayanya berdasarkan kisah nyata, terutama paling merugikan perempuan. Gadis-gadis yang akan belia itu tampak khawatir saat mendengarkan. Tapi beberapa hari kemudian mereka mulai membahas lagi hal-hal terkait cowok dan pacaran. Ah, saya kalah suara dengan media!
Paparan adegan pacaran dengan kata-kata cinta atau pemberian hadiah pada sang kekasih banyak beredar. Sinetron dan iklan di televisi yang mereka tonton adalah gurunya. Media sosial dan gadget mengaminkannya dengan memberi kesempatan pada mereka untuk lebih mengenal lawan jenis. Apalah daya, saya hanya bisa menyampaikan. Selebihnya, tergantung pada pendidikan orang tua.
*****
0 $type={blogger}:
Posting Komentar