Suatu petang, seperti biasa saya menjalani rutinitas mengajar bahasa inggris pada anak-anak. Saat itu tema yang dibahas adalah subject, verb, object. Tokoh utama cerita ini adalah tiga orang anak perempuan dengan tingkat kecerdasan berbeda. Seorang gadis kecil, sebut saja Melati, masuk dalam kategori anak dengan kecerdasan di atas rata-rata. Lia, temannya, juga mempunyai tingkat kecerdasan yang sama. Bedanya, Melati lebih teliti dan berhati-hati dalam mengerjakan dibanding Lia yang cenderung lebih cepat dalam menyelesaikan soal. Sementara Diya, berbeda dengan kedua temannya, cenderung di bawah rata-rata.
Tak jarang Lia mengejek Diya terkait kemampuan akademisnya itu. "Nilaimu kok mesti jelek, sih," celetuknya enteng saat melihat nilai yang saya bubuhkan setelah ia selesai mengerjakan soal. Perkataan anak SD yang masih polos dan jujur sering menyakitkan bagi yang dituju.
"Gak apa, namanya juga masih belajar. Yang ini Diya masih bingung ya.. Nanti kalau belajar terus lama-lama juga mengerti." Saya mencoba membesarkan hati Diya.
Beberapa pertemuan berikutnya saya kembali menjelaskan tema yang sama. Bertanya pada ketiganya untuk memastikan mereka mengerti. Lebih-lebih membuat Diya tak putus asa dengan memberinya komentar positif. Setiap dia bisa mengerjakan dengan baik, meski itu cuma betul setengah, saya memujinya. "Yang ini sudah betul. Bagus! Nah, kalau yang ini bagaimana, masuk verb atau object?" Saya mencoba membuatnya berpikir ulang terkait kesalahannya. Setelah saya cek hasil kerjanya, Dita membuat lebih sedikit kesalahan dan mendapat nilai yang lebih baik daripada Lia. 'Ketukan' saya berhasil membuat Diya semakin bersemangat. Efeknya, dia menjadi lebih percaya diri dan yakin akan kemampuannya dalam mengerjakan.
Saat pikiran seseorang dipenuhi dengan hal-hal yang positif, maka hasil yang didapat juga baik pula. Hal ini terkait dengan berhusnudzon pada Allah. Itu motivasi yang timbul dari dalam diri siswa. Tugas kita sebagai guru hanya meletiknya. Selebihnya, jika ia sendiri tak mau berbenah dan mengubah pola pikirnya, maka tak akan ada yang berubah.
Selain itu, motivasi dari luar bisa dilakukan dengan campur tangan guru. Saya pernah mendengar kalimat " 'Ketuklah' muridmu pada tempat yang pas untuk menjadikannya hebat." Entah siapa yang mengatakannya atau kutipan darimana. Yang jelas, 'mengetuk' dalam hal ini mempunyai arti mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri anak. Jika seorang anak biasa 'diketuk' di tempat yang pas, maka dia bisa melejitkan potensinya. Sebaliknya, anak yang pintar sekalipun jika 'diketuk' di tempat yang salah tidak akan menimbulkan efek yang luar biasa.
Saya pernah mengalami kejadian sebaliknya. Saat itu saya masih mengajar di sekolah SMP. Saya diminta mempersiapkan beberapa anak cerdas yang dipilih untuk mengikuti lomba story-telling, pidato dan debat bahasa inggris. Saya berusaha menpersiapkan ketiga lomba itu dengan baik, namun hasilnya jauh dari memuaskan. Anak laki-laki yang paling pintar di kelas 7 yang mengikuti pidato bahasa inggris tampil grogi. Anak perempuan cerdas yang biasanya melakukan segala sesuatunya dengan baik tampil kurang maksimal dalam story-telling. Sedangkan lomba debat menyisakan tim anak-anak jago bahasa inggris yang kebingungan memahami tema. Ah, ada yang salah dengan 'ketukan' saya. Mungkin saya tak 'mengetuk' mereka di tempat yang seharusnya. Saya masih harus banyak belajar dan terus belajar.
(110418)
0 $type={blogger}:
Posting Komentar