Kerumunan
wanita yang rata-rata sudah berumur lebih dari setengah abad memenuhi pelataran
desa. Beberapa dari mereka bahkan sudah beranak cucu. Warna hijau mendominasi
kerumunan tersebut. Mereka duduk di atas terpal oranye di bawah rimbun
pepohonan. Tangan kanan ibu-ibu itu sibuk mengipas-kipas. Entah dengan kipas
kain segitiga bergambar, kipas bentuk lingkaran yang biasa digunakan untuk
mengipasi sate ataupun kardus bekas makanan ringan yang sudah ditekuk-tekuk.
Maklum saja, sinar mentari bersinar cukup terik pagi itu. Sementara para
pedagang terlihat sudah siap menjajakan dagangannya. Mulai dari bakso, lontong
kikil, dan yang lainnya.
Para ibu yang
datang pagi itu sungguh terlihat ceria. Setelah membaca yasin, mereka mendapat
jatah istirahat kira-kira 45 menit untuk kemudian dilanjutkan dengan ceramah
agama. Waktu yang cukup lama untuk digunakan membeli beragam makanan yang tersedia.
Mereka sibuk makan lantas ngobrol banyak hal. Menggoda cucu perempuan kawannya.
Lantas sesekali tertawa.
Melihat
ibu-ibu sepuh yang tengah beristirahat, pedagang pun bergantian menghampiri.
Ada pedagang jajanan semacam kripik, jagung, jipang, dll lalu pedagang ketan
atau nasi goreng.
Disusul dengan pedagang kerudung, keset, ulegan (alat penggiling pasangan cobek) sampai pedagang yang menjual kapur barus, amplop, tutup panci dan kawan-kawannya. Ah, heboh benar! Aku terpaku mengamati para wanita sepuh itu. Beberapa sibuk mengunyah kikil. Yang lainnya sibuk membeli ketan. Menyulurkannya dari satu orang ke orang lain. Sementara kerumunan yang lain asyik memilih ulegan. Menekannya di atas tanah. Sisanya malah membaringkan tubuhnya sembari ngobrol.
Disusul dengan pedagang kerudung, keset, ulegan (alat penggiling pasangan cobek) sampai pedagang yang menjual kapur barus, amplop, tutup panci dan kawan-kawannya. Ah, heboh benar! Aku terpaku mengamati para wanita sepuh itu. Beberapa sibuk mengunyah kikil. Yang lainnya sibuk membeli ketan. Menyulurkannya dari satu orang ke orang lain. Sementara kerumunan yang lain asyik memilih ulegan. Menekannya di atas tanah. Sisanya malah membaringkan tubuhnya sembari ngobrol.
Hmm, saya yang
datang menemani ibu kini paham cerita beliau tentang penyegaran pikiran di
pengajian.
“Kalo pengajian enak, bisa ndengerin ceramah, bisa andok (beli
makan), cerita-cerita sama temen,” begitu Ibu berujar. Jadinya sekali
mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. Ini bukan hanya pengajian, tapi juga
sumber rejeki bagi para pedagang. Cerita ibu, para pedagang nasi goreng yang
menjual nasi per bungkus seharga seribu rupiah itu bahkan berhasil menjual
sekitar 1500 bungkus. Tentu saja, jumlah orang yang hadir dalam setiap
pengajian memang mencapai angka segitu. Bisa dibayangkan berapa rupiah yang
bisa dihasilkannya.
Jadi itulah
refreshing ala ibu-ibu. Melihat mereka yang sedang berada dalam dunianya,
membuatku tetap bergeming. Tetap menjadi pengamat dalam dunia mereka.
0 $type={blogger}:
Posting Komentar