By: Mega Anindyawati
Saya pernah membaca sebuah artikel yang mengatakan bahwa menulis dengan otak kanan baru otak kiri berdampak positif terhadap tulisan kita. Dan memang benar adanya. Saya pernah mempraktekkannya sendiri dalam pelatihan kepenulisan yang saya ikuti beberapa bulan yang lalu. Ketika menulis dengan menggunakan otak kiri, kita akan cenderung berpikir “aku mau menulis apa ya?”. Terlebih di saat kita di kejar deadline agar cepat-cepat menyelesaikan tulisan tersebut.
Disisi lain, ketika kita menulis dengan otak kanan, tanpa pikir panjang kita bisa menuliskan segala sesuatu yang ada dalam pikiran kita. Seperti yang dikatakan oleh pembicara dalam pelatihan tersebut, menulislah apapun yang ada dalam pikiran anda kemudian setelah tulisan tersebut selesai baru diedit.
Tidak hanya jurus di atas yang saya praktekkan dalam menulis. Saya juga melakukan beberapa hal demi mengasah kemampuan menulis saya, diantaranya:
- Menulis setiap hari
Meskipun itu hanya selembar tulisan yang tak mempunyai alur atau sekedar curhat apa saja yang saya alami hari ini. Yang penting menulis! Bahkan ketika tak ada ide mau menulis apa. Apapun yang saya pikirkan saat itu, apa saja yang saya lihat, yang saya rasakan semuanya saya coba tuangkan ke dalam tulisan!
Sesuatu yang kelihatannya remeh pun ketika saya amati ternyata mengandung nilai yang sungguh luar biasa. Seperti misalnya, ketika mendapati seorang ibu yang sedang menggendong bayi dan menggandeng bocah laki-laki kecil, saya mendapat ide untuk membuat tulisan tentang kasih ibu kepada anak-anaknya. Tentunya dengan membuat beberapa inovasi agar tulisan kita terlihat unik meskipun dengan tema yang sudah umum sekalipun.
- Berguru kepada yang sudah ahli
Bergabung dengan suatu kelompok yang para anggotanya gemar menulis dengan penulis senior sebagai pembimbing. Hal ini terbukti mampu memotivasi saya untuk menulis dan terus menulis! Ketika pembimbing kami berhasil menerbitkan karya-karya beliau dalam media harian ibu kota, semangat saya pun terpacu untuk melakukan hal yang sama. Meskipun saya hanyalah seorang amatiran, saya tak akan berkecil hati. Kalau beliau bisa, kenapa saya tidak! Saya hanya belum tahu bagaimana menulis dengan baik dan benar. Saya masih dalam proses belajar untuk menyempurnakan tulisan-tulisan saya. Saya cuma harus bersabar dan tak lelah berjuang menembus media. Sekali di tolak, balas dengan seribu kali tembakan! \(^0^)/
Selain itu, seorang yang sudah lama berkecimpung dalam dunia kepenulisan membantu kita untuk memperbaiki kekurangan kita dalam menulis. Beliau lebih tahu bagaimana menyusun sebuah tulisan secara sistematis dengan alur berpikir yang logis. Dan juga, pembimbing mengajarkan kita beragam trik dalam menghasilkan sebuah karya hebat! Tidak hanya itu, pemikiran-pemikiran beliau yang kritis pun menyadarkan kita akan hal-hal yang terkadang kita hiraukan.
- Bertukar pikiran dengan teman-teman yang cinta menulis.
Informasi baru terserap ke dalam memori otak kita melalui proses mendengar dan membaca. Sedangkan berbicara dan menulis termasuk proses menyampaikan sesuatu. Nah, berdialog merupakan kegiatan yang menggabungkan proses menyerap dan memberikan informasi. Berdialog dengan banyak orang berkontribusi menambah wawasan kita. Hal ini akan berguna ketika kita ingin menuliskan sesuatu yang berhubungan dengan tema yang pernah kita dengar. Akan berbeda hasilnya jika gendang telinga kita tak pernah menangkap informasi tersebut. Tentu kita tak akan bisa menuangkannya ke dalam bentuk tulisan, bukan?
Selanjutnya proses berbicara dalam dialog berguna untuk mendapatkan gagasan, kritik atau saran dari lawan bicara kita. Acap kali kita mengalami kebuntuan dalam menulis. Karena itu, disinilah pentingnya berdialog itu! Kita bisa menyampaikan hambatan tersebut kepada teman-teman yang juga gemar menulis. Selanjutnya mereka akan memberikan alternatif solusi untuk kita, terutama ketika mereka pernah mengalami masalah yang sama dengan yang kita hadapi.
Bersambung...
0 $type={blogger}:
Posting Komentar