Apa yang kau pikirkan saat mendengar berita kematian? Ngeri? Kaget? Atau justru senang? Senang? Yup, para sahabat di zaman Rasulullah justru memandang kematian sebagai sebuah hal yang menggembirakan. Senang, sebab mereka akan bertemu rabb-Nya. Kematian adalah sesuatu yang indah karena mereka akan meninggalkan dunia fana yang penuh derita. Ahay, lebay!
Etapiii.. Di zaman now kek gini kalo denger salam dari masjid kita mungkin malah bergidik ngeri karena isinya berita kematian. Dan anehnya kita malah kabur begitu liat mayit digotong keluar rumah untuk disholati. Padahal kata Nasywa pahala mengantar mayit itu gedeee bingit. Nganterin mayit dari rumahnya sampai menyolatkan plus nyampek ke kubur sebesar dua qirath (gunung Uhud) (H.R.Bukhari 1325).
Kematian itu yang menggelisahkan hati Quadruplet Squad pagi ini. Si sholihah Nasywa izin gak masuk kuliah gegara ibunya meninggal dunia, tepat di hari ibu. Kebayang kan gimana nyeseknya. Soo, akhir pekan ini kami bertiga cus meluncur ke rumah Nasywa di sebuah desa asri nan adem nun jauh di puncak gunung.
"Beneran nih rumahnya Nasywa di daerah sini?" tanya Dewi setelah kami naik bis selama 3 jam dan turun di sebuah gang besar.
"Heem.. Tinggal naek ke puncak gunung sono noh," tunjukku.
Kami bertiga pun naik len yang membawa kami naik. Di kanan dan kiri jalan tampak berbagai tanaman sayuran dan buah-buahan yang tumbuh subur.
"Enak ya disini kalo mau masak tinggal metik aja," Almira tampak excited dengan pemandangan asri yang dilihatnya di luar jendela.
Setelah 30 menit perjalanan, kami pun nyampek. Bukan di depan rumahnya Nasywa, tapi masih di depan gangnya. Setelah nanya-nanya ternyata rumahnya ada di ujung jalan. Byuh, harus jalan kaki lagi nih untuk nyampek kesono.
Akhirnya setelah nyari stok nafas yang ngos-ngosan, kami melihat banyak orang berkerumun di satu rumah sederhana dengan halamannya yang luas. Nah, itu pasti rumahnya Nasywa.
Gadis itu pun menyambut kami dengan senyum yang dipaksakan. Matanya masih terlihat sembab.
"Aku nyesel banget gak langsung pulang pas dapet kabar kalo ibu sakit," kisah Nasywa begitu kami duduk di atas lantai semen yang beralaskan tikar.
"Keadaan yang gak memungkinkan. Waktu itu kan kita lagi ada UAS," kata Almira mencoba membesarkan hati Nasywa.
"Sabar ya Nas," hanya itu yang bisa kuucapkan.
"Semoga ibumu diampuni dosanya dan diterima segala amal ibadahnya," doa Dewi.
"Aku nyesel gak bisa ngerawat dan liat ibu di saat-saat terakhirnya. Aku berharap bisa talqin beliau tapi... Tapi..." Nasywa mulai sesegukan.
"Setiap yang bernyawa itu pasti akan mati. Jadi ini udah takdir. Gak usah nyalahin diri kamu sendiri," Dewi turut menenangkan.
"Kamu pernah bilang sama kita kalo setiap perkara orang yang beriman itu baik. Jika dia diberi ujian, dia akan sabar dan jika dia diberi kenikmatan, dia akan bersyukur," kata Almira.
"Iya gaes, makasih ya." Kami berempat pun berpelukan. Dalam haru, aku, Dewi dan Almira berusaha menyembunyikan air mata yang diam-diam tumpah.
Etapiii.. Di zaman now kek gini kalo denger salam dari masjid kita mungkin malah bergidik ngeri karena isinya berita kematian. Dan anehnya kita malah kabur begitu liat mayit digotong keluar rumah untuk disholati. Padahal kata Nasywa pahala mengantar mayit itu gedeee bingit. Nganterin mayit dari rumahnya sampai menyolatkan plus nyampek ke kubur sebesar dua qirath (gunung Uhud) (H.R.Bukhari 1325).
Kematian itu yang menggelisahkan hati Quadruplet Squad pagi ini. Si sholihah Nasywa izin gak masuk kuliah gegara ibunya meninggal dunia, tepat di hari ibu. Kebayang kan gimana nyeseknya. Soo, akhir pekan ini kami bertiga cus meluncur ke rumah Nasywa di sebuah desa asri nan adem nun jauh di puncak gunung.
"Beneran nih rumahnya Nasywa di daerah sini?" tanya Dewi setelah kami naik bis selama 3 jam dan turun di sebuah gang besar.
"Heem.. Tinggal naek ke puncak gunung sono noh," tunjukku.
Kami bertiga pun naik len yang membawa kami naik. Di kanan dan kiri jalan tampak berbagai tanaman sayuran dan buah-buahan yang tumbuh subur.
"Enak ya disini kalo mau masak tinggal metik aja," Almira tampak excited dengan pemandangan asri yang dilihatnya di luar jendela.
Setelah 30 menit perjalanan, kami pun nyampek. Bukan di depan rumahnya Nasywa, tapi masih di depan gangnya. Setelah nanya-nanya ternyata rumahnya ada di ujung jalan. Byuh, harus jalan kaki lagi nih untuk nyampek kesono.
Akhirnya setelah nyari stok nafas yang ngos-ngosan, kami melihat banyak orang berkerumun di satu rumah sederhana dengan halamannya yang luas. Nah, itu pasti rumahnya Nasywa.
Gadis itu pun menyambut kami dengan senyum yang dipaksakan. Matanya masih terlihat sembab.
"Aku nyesel banget gak langsung pulang pas dapet kabar kalo ibu sakit," kisah Nasywa begitu kami duduk di atas lantai semen yang beralaskan tikar.
"Keadaan yang gak memungkinkan. Waktu itu kan kita lagi ada UAS," kata Almira mencoba membesarkan hati Nasywa.
"Sabar ya Nas," hanya itu yang bisa kuucapkan.
"Semoga ibumu diampuni dosanya dan diterima segala amal ibadahnya," doa Dewi.
"Aku nyesel gak bisa ngerawat dan liat ibu di saat-saat terakhirnya. Aku berharap bisa talqin beliau tapi... Tapi..." Nasywa mulai sesegukan.
"Setiap yang bernyawa itu pasti akan mati. Jadi ini udah takdir. Gak usah nyalahin diri kamu sendiri," Dewi turut menenangkan.
"Kamu pernah bilang sama kita kalo setiap perkara orang yang beriman itu baik. Jika dia diberi ujian, dia akan sabar dan jika dia diberi kenikmatan, dia akan bersyukur," kata Almira.
"Iya gaes, makasih ya." Kami berempat pun berpelukan. Dalam haru, aku, Dewi dan Almira berusaha menyembunyikan air mata yang diam-diam tumpah.
0 $type={blogger}:
Posting Komentar