Ibu-ibu Muda Bicara Rumah Tangga

Bergaul dengan sebagian ibu-ibu muda yang kerap menceritakan lika-liku kehidupan keluarga mereka, membuatku sedikit banyak belajar. Dari beberapa hal yang kerap mereka perbincangkan, aku bisa menarik beberapa kesimpulan. Bahwa membina rumah tangga itu seperti melukis. Ya, melukis. Menyatukan beragam perbedaan warna untuk membentuk sebuah lukisan yang indah. Perbedaan itu terkadang tampak kontras, namun jika dipadukan oleh seorang seniman akan menjadi sesuatu yang menarik. Dalam melukis, terkadang kita juga harus menekankan kanvas pada satu sisi dan membuatnya samar di sisi yang lain. Atau mungkin kita akan menemukan beberapa kejutan pada tiap goresan yang ada. Bahwa setiap goresan, warna ataupun detail yang ada didalam lukisan itu membuat kita tersenyum bangga atau malah merengut jengkel.
Ya, mungkin hidup berumah tangga seperti itu. Aku memang belum tahu tepatnya seperti apa, tapi yang jelas kisah orang-orang yang sudah berumah tangga sedikit banyak mengajariku akan hal ini. Bahwa tidaklah mudah untuk membangun mahligai rumah tangga, namun tidaklah terlalu menjadi sesuatu yang berat dan membebani pikiran. Pada hakikatnya, aku membacanya sebagai sebuah seni. Semuanya tergantung pada bagaimana kita bisa menghargai satu sama lain, terutama perbedaan yang akan bergesek pada ketidakcocokan, salah paham dan sejenisnya. Ataupun bagaimana mencintai kekurangan pasangan kita, sehingga pada gilirannya itupun akan berlaku yang sama pada kita.
Dan, terkadang didalam berumah tangga, kita akan mendapati beragam kejutan. Entah itu ketulusan dan kebaikan hati pasangan kita yang sanggup membuat kita semakin tertambat olehnya, maupun sifat-sifat yang dirasa kurang sreg sehingga kitapun jengah karenya. Namun yang pasti, apapun itu, semuanya akan menjadi sesuatu yang indah, kalau kita menginginkannya demikian. Tapi jika tidak, semua itu tak lebih dari sekedar coretan amatir kanak-kanak yang baru belajar menorehkan goresan tintanya di atas sebuah kanvas. Bagiku, semua tergantung pada bagaimana kita menyikapinya kelak. Akankah kita membuatnya menjadi mudah dan indah atau justru sebaliknya...
Lalu, berkaca dari apa yang aku tangkap dari perbincangan mereka, secara garis besar aku mendapat pengetahuan yang baru mengenai sifat seorang laki-laki. Laki-laki, sosok yang menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Mungkin itulah sebabnya kenapa secara umum mereka mempunyai sifat dasar yang sama. Beberapa diantaranya adalah:
1. Laki-laki dianggap egois oleh perempuan.
Setiap perempuan yang menceritakan kehidupan rumah tangganya sebagian besar berkata demikian. Aku tak ingin menghakimi atau menuduh bahwa semua laki-laki memang seperti itu. Yang jelas, itulah yang aku tangkap dari cerita-cerita para ibu-ibu. Dan entah, apakah para lelaki memang mengakui bahwa mereka demikian adanya atau malah menyangkal?
Aku memaknainya seperti ini: mungkin karena para lelaki adalah sosok yang berada pada tingkat hierarki yang lebih tinggi dari perempuan, mereka menjadi pribadi yang selalu ingin menunjukkan posisinya tersebut. Salah satunya, secara tidak sadar dengan menjadi seseorang yang egois. Pengertian egois disini adalah mau menang sendiri. Selalu menomorsatukan dirinya dibanding yang lain.
Sebagai gambarannya, aku pernah mendengar sebuah kalimat yang dilontarkan oleh seorang pria di televisi yang mengatakan bahwa: “Bagi seorang lelaki, hal yang pertama adalah dirinya, kemudian karirnya, baru setelahnya keluarga. Namun bagi seorang perempuan, hal utama baginya adalah keluarga, kemudian karir lalu dirinya.” Entah apa benar demikian. Tapi bagiku sepertinya memang tidak bisa digeneralisasi untuk semua orang. Tidak semua perempuan selalu menomorsatukan keluarga, beberapa wanita karir mungkin akan lebih menekankan karir diatas yang lainnya. Pun bagi laki-laki.
Bukti lain bahwa laki-laki egois bisa dilihat pada bagaimana mereka tidak mendengarkan pedapat kita, perempuan. Seringkali lelaki kurang atau bahkan tidak mempercayai apa yang perempuan katakan, tetapi mereka percaya pada pendapat orang lain meski pada hakikatnya substansi dari apa yang dikatakan sama. Orang lain, dalam konteks ini adalah mereka yang dianggap ‘lebih’ oleh para lelaki, entah lebih berilmu, lebih disegani ataupun yang lainnya. Jadi, bisa ditarik benang merah bahwasannya untuk menunjukkan hierarkinya yang berada diatas perempuan, lelaki seolah tak peduli pada pendapat kaum ini. Mereka menganggap bahwasannya opini perempuan hanyalah angin lalu, tak berbobot dan sejenisnya. Entah karena lelaki memang terlalu gengsi untuk mengamininya atau karena memang sudah ada hegemoni dalam pikiran mereka yang memandang sebelah mata pada perempuan.
Contoh konkretnya, seorang ibu dengan dua orang anak perempuan mengatakan bahwa sang suami tidak pernah mempercayai apa yang dikatakannya. Namun, pada saat seseorang yang dianggapnya ‘lebih’ mengatakan hal yang pada hakikatnya sama, suaminya itu menegaskannya kembali pada sang istri. “Lho, itu kan sama seperti pendapatku? Kenapa kalau aku yang bilang nggak didengerin, tapi kalo orang lain yang ngomong dipercaya!” jerit sang istri dalam hati. Yang jelas, kesimpulannya sama. Lelaki dianggap egois oleh perempuan, atau memang kenyataannya seperti itu? Kalau memang tidak, buktikanlah wahai engkau para lelaki!

2. Laki-laki mengandalkan logika diatas segalanya.
Hmm, untuk yang satu ini aku sebagian besar mengamininya. Sudah banyak riset yang menunjukkan bahwa memang demikian adanya, lelaki mengandalkan logika sedangkan perempuan mengandalkan perasaannya. Seperti sebuah buku yang berjudul “Men are from Mars and Women are from Venus”. Kedua makhluk ini, laki-laki dan perempuan, seolah berasal dari dua planet berbeda yang masing-masing sulit mengerti satu sama lain.
Beberapa perempuan kerap mengeluhkan bahwa suami mereka tidak peka. Seorang perempuan muda dengan seorang anak yang masih balita mengatakan “Suamiku nggak peka!”. Ketika ia yang terkadang penat dengan aktivitas rumah tangga seharian atau dongkol karena sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan suaminya, biasanya menunjukkan hal ini dengan memasang tampang jengah. Suaminya, mungkin yang kurang peka, tidak begitu paham akan ekspresi yang ditampakkan istrinya. Meski ia merengut seharian dengan wajah keruh, sang pria hanya diam tanpa menanyakannya kenapa. Baru ketika sang istri mengadu secara verbal bahwa ia sedang kesal, lelaki ini baru ngeh. Ah, benar-benar! Beginilah memang yang terjadi karena lelaki tak begitu memanfaatkan perasaannya, namun lebih condong ke arah logika.

3. Laki-laki kerap membelanjakan apa yang mereka mau tanpa memikirkan efeknya.
Begitulah kata seorang ibu yang lain. Perempuan dengan dua orang anak ini mengatakan bahwa suaminya kerap mengajak makan diluar rumah, membeli apa yang ia mau dan sejenisnya. Mungkin lelaki pada dasarnya hanya ingin menyenangkan keluarga dan anak-anaknya, tapi tanpa ia sadar ia telah mempuh jalur yang kurang pas di hati perempuan.
Namun bagi seorang perempuan yang sudah berkeluarga, membuat anggaran belanja dan memperhitungkan apa yang akan dibeli, termasuk apa yang penting dan mendesak adalah sesuatu hal yang wajib dilakukan. Nah, pada praktiknya, sang suami yang ingin diajaknya berhemat justru melakukan hal yang kontras. Membeli apa yang ia mau, bukan apa yang memang ia butuh. Pada akhir bulan, ianya kehabisan uang. Atau membelanjakan uang insentif untuk mentraktir teman-temannya. Niatnya sih memang untuk berbagi rezeki. Tapi rasanya tak sejalan dengan pikiran sang istri. Anggaran belanja sebulan yang sudah dibuat seolah diporakporandakan. Perempuan hanya ingin semuanya sejalan, namun memang praktiknya tak semulus itu.
Yang pasti, mengkomunikasikan sesuatu adalah dasar dari segalanya. Segala sesuatu, apapun itu, tidak hanya persoalan rumah tangga, kuncinya adalah komunikasi. Maaf kalo aku sepertinya sok tahu. Yang jelas, apapun itu. Ini semua hanyalah pendapat perempuan tentang laki-laki. Lalu bagaimana dengan pendapat laki-laki terhadap sosok perempuan? Adakah yang mau share???

0 $type={blogger}:

Posting Komentar