Oleh:
Mega Anindyawati*
Judul buku : Ayah, Aku Rindu
Penulis : S. Gegge Mappangewa
Penerbit :
Indiva Media Kreasi
Tahun terbit :
Maret 2020
Jumlah halaman : 192 halaman
Harga : Rp. 45.000,-
Masa remaja kerap disebut sebagai masa
pencarian identitas diri, sehingga masa ini umumnya tak lepas dari konflik.
Dunia remaja juga identik dengan cinta. Tak heran jika banyak novel remaja yang
menyuguhkan menyuguhkan kisah-kisah seputar percintaan. Namun, novel remaja
yang ditulis oleh S. Gegge Mappangewa ini menyajikan sensasi yang berbeda.
Tetap dibalut dalam dunia remaja yang bersinggungan dengan cinta dan
persahabatan, tetapi menyajikan konflik yang jauh dari sekedar virus merah
jambu.
Novel yang menjadi juara pertama
kompetisi menulis novel remaja Indiva 2019 ini memfokuskan kisah pada konflik batin
si tokoh utama dalam menghadapi masalah dalam hidupnya. Rudi Gilang, seorang
remaja berusia 18 tahun, dihadapkan pada kenyataan pahit yang terjadi secara
beruntun dalam hidupnya. Ibunya meninggal karena kanker rahim. Sejak kematian
ibunya, Rudi harus “kehilangan” sang ayah yang mengalami goncangan mental berat.
Anehnya, perubahan sikap drastis ayah Rudi ini membuatnya sangat marah dan membenci
Rudi, bahkan mengancam membunuhnya.
Daeng Gegge piawai mengolah unsur-unsur
intrinsik dalam novel setebal 192 halaman ini. Tema yang disajikan bersifat universal,
seperti tentang bagaimana seseorang harus bersabar menghadapi ujian. Tema yang
diangkat dalam novel remaja ini adalah kerinduan seorang anak akan kehadiran ayahnya
secara utuh sehingga membuatnya belajar dewasa dari problematika kehidupan yang
terbilang cukup kompleks untuk anak seusianya. Hal-hal yang menarik ditampilkan
melalui sisi religius, nilai-nilai kebaikan seperti jujur, sabar, dan syukur serta
moralitas dalam memperlakukan orang dengan gangguan mental. Hasilnya, tema yang
terbilang umum menjadi lebih bernas.
Lebih lanjut, plot di dalam novel ini mengombinasikan
tiga jenis peristiwa, yaitu peristiwa fungsional, kaitan, dan acuan (Nurgiyantoro, 2009: 116), secara apik. Peristiwa
fungsional yang menentukan perkembangan plot dihadirkan pada tiap bab untuk
membuat cerita terus mengalir. Misalnya, saat Rudi menemukan bahwa ada yang tak
beres dengan ayahnya (Hikayat Tiga) berlanjut pada pemasungan ayah Rudi oleh
warga menuntun Rudi untuk mengambil keputusan apakah akan tetap membiarkan
ayahnya seperti itu karena ia tak ingin jauh dari ayahnya atau membawanya ke
rumah sakit jiwa (Hikayat Tujuh).
Peristiwa
kaitan, yaitu peristiwa-peristiwa yang mengaitkan kejadian-kejadian penting,
banyak dijumpai dalam novel ini. Contohnya saat Rudi mengirimkan foto hasil
jepretan ayahnya untuk mengikuti lomba foto (Hikayat Delapan). Peristiwa kaitan
ini menjadi acuan yang menggiring kemarahan ayah Rudi saat melihat foto Rudi
sebagai juara lomba foto di koran (Hikayat Sepuluh).
Selanjutnya, alur maju mundur dalam
novel mudah dicerna. Pembaca digiring untuk memahami peristiwa secara runtut
dengan flashback yang menyelipkan beberapa kenangan Rudi terkait
ayahnya. Penokohan Rudi sebagai remaja laki-laki ditampilkan dengan sikap
emosional yang kuat tetapi tidak berlebihan. Sebagai tambahan, gaya bahasa yang
digunakan dalam novel tidak mendayu-dayu.
Sisi atraktif lain dalam novel ini
ditampilkan dalam latar tempat yang tidak biasa. Unsur lingkungan dan sosial di
dalamnya berkelindan menarik. Unsur lingkungan ditonjolkan dengan memaparkan
kondisi wilayah Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, yang kotor dan bau karena
kebanyakan masyarakatnya berprofesi sebagai peternak. Gunung batu sebagai aset
alam juga mulai terkikis akibat aktivitas para pemahat dan pengrajin batu.
Unsur sosial dalam cerita terletak pada bagaimana kerajinan alat-alat
tradisional itu semakin terpinggirkan dan digantikan oleh alat-alat modern yang
lebih canggih.
Seperti beberapa novelnya yang lain,
Daeng Gegge, yang lahir di Sidenreng Rappang, cakap mengangkat kearifan lokal
yang ada di daerahnya. Ia menjadikan beberapa wilayah di Sulawesi sebagai latar
tempat dalam novelnya. Tulisan-tulisannya yang kental akan unsur-unsur sosial,
lingkungan, dan kearifan lokal juga menjadi pembeda yang menandai ciri khasnya.
Dalam novel remaja ini, Daeng Gegge memasukkan cerita rakyat mengenai La Pagala
atau Nenek Mallomo. Tema terkait kerinduan akan keluarga juga masih tak lepas
dari sorotannya. Sebagai tambahan, latar belakang penulis sebagai seorang guru
juga turut mewarnai kekayaan novel ini.
Namun, novel ini akan bertambah utuh
jika sudut pandang orang pertama (aku dan saya) dalam tulisan dan judul
digunakan secara konsisten. Selain itu, penggunaan dialek jawa dalam beberapa
bagian (hal. 150) sebaiknya dihindari. Ada baiknya memilih nama tokoh yang berbau
lokal sehingga semakin menguatkan karakter tokoh dan menjadikan cerita terikat dengan
latar tempat. Novel ini juga akan semakin mulus dengan penutup yang tidak terserempak.
Novel
“Ayah, Aku Rindu” adalah novel yang kita butuhkan dalam situasi darurat lapar
ayah saat ini. Jika ibu adalah madrasah pertama maka ayah yang menjadi kepala
sekolahnya. Ayah memegang peran signifikan dalam pengasuhan anak di keluarga.
Di zaman ini kita kesulitan menemukan figur ayah semacam ini, yang tidak hanya
hadir secara fisik tetapi juga memiliki andil besar dalam pengasuhan.
Sebagaimana Nabi Muhammad, Nabi Ibrahim, Lukman, dan para ayah hebat sekelas
mereka yang sukses mencetak generasi terbaik.
Sosok
ayah dalam diri Rudi memiliki andil besar dalam membentuk kepribadiannya yang
positif sehingga ia kesulitan melupakan sang ayah disebabkan eratnya jalinan di
antara keduanya. “Saya dan ayah memang sangat akrab. Hampir tak ada jarak yang
membatasi kami kecuali rasa sopan yang tetap harus saya jaga.” (hal. 82).
Eksistensi peran ayah bisa digantikan oleh figur laki-laki lain saat kehadiran
ayah biologis bermasalah. Sebagaimana sosok Pak Sadli, guru sekolah Rudi, yang
memengaruhi pengambilan keputusan Rudi terhadap solusi atas masalahnya.
Pada akhirnya novel ini tidak hanya
menarik bagi pembaca remaja tapi juga masyarakat umumnya, khususnya para ayah, yang
ingin lebih memahami anak-anaknya dan bagaimana memperlakukan mereka sebagai
sahabat. Sebab, tanggung jawab utama pengasuhan bukanlah pada ibu, tetapi pada
ayah. []
*pegiat literasi dari FLP Sidoarjo
0 $type={blogger}:
Posting Komentar