TOK, TOK, TOK. Seorang kakek berusia sekitar 50 tahun lewat di jalanan depan kampus. Beliau memukul-mukul cobek batu dengan ulekan seraya menuntun sepeda tuanya. Di atas boncengan sepeda terdapat tempat untuk menaruh cobek jualannya.
"Pak," panggil Dewi. Gadis itu berjalan mendekat ke arah penjual cobek. Ia terlihat berbincang beberapa lama kemudian kembali sambil membawa sebuah cobek berukuran besar.
"Kamu mau ronda, Wi. Kok bawa-bawa kentongan," ledekku. Dewi kan gak bisa masak. Masak air aja gosong, hehehe.
"Kasian deh Pak Abdullah," Dewi duduk di sebelahku sambil memangku cobek yang baru saja dibelinya. Tak menghiraukan ledekanku.
"Pak Abdullah?" tanya Almira.
"Iya, bapak penjual cobek itu. Beliau jauh-jauh ngayuh onthel dari rumahnya di Pakis kesini buat jualan cobek."
"Pakis kesini kan jauh. Satu jam kalo naek motor," komentar Nasywa.
"Makanya itu. Beliau bilang kalo di tempatnya udah banyak yang jualan cobek karena disana pusat pengrajin cobek. Makanya beliau jualan sanpek sini," cerita Dewi.
"Lah, emang anaknya kemana? Bapaknya udah sepuh kok masih kerja?" tanya Almira.
"Anak Pak Abdullah udah nikah dan tinggal sama istri dan anaknya di rumah mertua. Mereka tinggal di pulau seberang. Istrinya gak ngizinin suaminya untuk pulang ke rumah orang tuanya. Bahkan pas ibunya meninggal pun gak dateng. Parah banget kan," Dewi geleng-geleng kepala. Terdengar helaan nafasnya berat.
"Ya Allah, kasian banget Wi. Istrinya udah meninggal. Beliau hidup sendiri. Anaknya gak berbakti lagi," Nasywa menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Belilah, meski kamu tidak membutuhkannya," ucap Dewi menasehati kami. "Makanya itu aku beli cobeknya. Yah lumayan buat ganjel pintu kosan yang ngrik-ngrik," kelakar Dewi.
"Masyaaallah Wi.." tak sadar aku memujinya. Selama ini Dewi memang sering menghentikan para penjual yang sudah sepuh atau memiliki keterbatasan fisik. Dewi membeli barang dagangan mereka padahal ia tidak membutuhkannya. Pernah ia membeli mainan anak-anak, makanan yang tak disukainya atau daster. Buat apa coba.. Ternyata itu alasannya. Subhanallahu, sungguh mulia hatimu, Nak hihihi.
"Tidaklah seseorang beriman (secara sempurna) hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri," kata-kata Nasywa yang mengutip hadits Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45 kembali terngiang di kepala.
"Pak," panggil Dewi. Gadis itu berjalan mendekat ke arah penjual cobek. Ia terlihat berbincang beberapa lama kemudian kembali sambil membawa sebuah cobek berukuran besar.
"Kamu mau ronda, Wi. Kok bawa-bawa kentongan," ledekku. Dewi kan gak bisa masak. Masak air aja gosong, hehehe.
"Kasian deh Pak Abdullah," Dewi duduk di sebelahku sambil memangku cobek yang baru saja dibelinya. Tak menghiraukan ledekanku.
"Pak Abdullah?" tanya Almira.
"Iya, bapak penjual cobek itu. Beliau jauh-jauh ngayuh onthel dari rumahnya di Pakis kesini buat jualan cobek."
"Pakis kesini kan jauh. Satu jam kalo naek motor," komentar Nasywa.
"Makanya itu. Beliau bilang kalo di tempatnya udah banyak yang jualan cobek karena disana pusat pengrajin cobek. Makanya beliau jualan sanpek sini," cerita Dewi.
"Lah, emang anaknya kemana? Bapaknya udah sepuh kok masih kerja?" tanya Almira.
"Anak Pak Abdullah udah nikah dan tinggal sama istri dan anaknya di rumah mertua. Mereka tinggal di pulau seberang. Istrinya gak ngizinin suaminya untuk pulang ke rumah orang tuanya. Bahkan pas ibunya meninggal pun gak dateng. Parah banget kan," Dewi geleng-geleng kepala. Terdengar helaan nafasnya berat.
"Ya Allah, kasian banget Wi. Istrinya udah meninggal. Beliau hidup sendiri. Anaknya gak berbakti lagi," Nasywa menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Belilah, meski kamu tidak membutuhkannya," ucap Dewi menasehati kami. "Makanya itu aku beli cobeknya. Yah lumayan buat ganjel pintu kosan yang ngrik-ngrik," kelakar Dewi.
"Masyaaallah Wi.." tak sadar aku memujinya. Selama ini Dewi memang sering menghentikan para penjual yang sudah sepuh atau memiliki keterbatasan fisik. Dewi membeli barang dagangan mereka padahal ia tidak membutuhkannya. Pernah ia membeli mainan anak-anak, makanan yang tak disukainya atau daster. Buat apa coba.. Ternyata itu alasannya. Subhanallahu, sungguh mulia hatimu, Nak hihihi.
"Tidaklah seseorang beriman (secara sempurna) hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri," kata-kata Nasywa yang mengutip hadits Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45 kembali terngiang di kepala.
0 $type={blogger}:
Posting Komentar