Ada sejuta kenangan dalam sepotong pashmina hitam favorit saya. Kenangan yang terukir tentang seseorang di masa lalu. Kerudung itu hadiah perpisahan dari seorang Pakistan. Saat itu ia tengah menyelesaikan studi S3 di Universiti Brunei Darussalam. Sementara saya hanyalah mahasiswa pertukaran pelajar.

Berbagai hal yang kami lalui bersama tiba-tiba berkelebat dalam benak. Ada saat menyenangkan ketika kami dan kawan-kawan International club yang lain sight-seeing di jantung kota. Ibu kota Brunei itu menyuguhkan aroma kedamaian yang menawan. Kami menikmati makanan India dan berkeliling di seputaran Bandar Seri Begawan.



Merayakan idul adha bersama dengan masakan asing yang belum saya coba sebelumnya. Menikmati malam di rooftop The Core, asrama mahasiswa International yang mewah, ditemani kerlip lampu. Memandang keindahan laut lepas di sisi belakang asrama. Barbeque di pantai tak bernama dan menikmati farewell party untuk kami, mahasiswa pertukaran pelajar, di suatu waktu yang lain. Dan, hiking di suatu perbukitan asri dengan ukiran nama kami di sebatang pohon. TZ dan MG.



Namanya Tazneem. Dia gadis cantik asal Pakistan yang menjadi sahabat saya selama di Brunei. Gaya bicaranya dengan bahasa Urdu (mirip India) pernah membuat saya salah paham, hehe. Dan ada satu hal yang lupa saya lakukan. "Nanti kalau kamu nikah, undang aku yah," katanya suatu ketika. Namun,  hal tersebut  terlupakan. Semoga suatu saat nanti saya bisa mengunjunginya ke Pakistan. "Kapan-kapan maen kesana ya, kalo ke Pakistan hubungi saya," begitu ujarnya.
Selalu ada konsekuensi dari setiap pilihan. Saat seseorang memilih untuk membina rumah tangga di usia muda, mimpi untuk meraih asa bisa jadi tergadai. Namun, ada hal yang lebih berarti saat keluarga menjadi yang nomer satu. Keluarga, selalu menyuguhkan kehangatan tersendiri. Keluarga, selalu menjadi yang paling dinanti. Terlebih senyum dan tawa ceria anak-anak menjadi hal yang tak terganti. Layaknya rintik-rintik hujan di musim panas. Menyejukkan. Ah, siapapun pasti kan merindunya. Terlebih bagi mereka yang memilih mengejar mimpi.
Jangan tanya betapa galaunya saat semua kesuksesan itu telah diraih tapi sang pujaan hati tak kunjung menepi. Tengok saja mereka yang di usia matang masih saja sendiri. Akankah keberhasilan itu dapat menggantikan segala? Tidak, sungguh sama sekali tidak.
Saat titel itu berderet dibelakang nama, usia pun sudah tak lagi muda. Akan selalu ada rindu untuk kembali. Kembali kepada kodrat menjadi suami, istri, ayah ataupun ibu. Sebab itulah yang paling menggembirakan hati.
"Assalamu'alaikum," sapa seorang kawan dengan senyum sumringah saat berpapasan denganku di koridor kampus.
Aku gelagapan. Bingung harus menjawab apa. Bukannya lupa cara jawab salam, etapi yang ngasih salam nih teman non-muslim.
 "Eeh.. Iya," Itu yang akhirnya terlontar sambil menyungging senyum dipaksakan. Tiga saudara beda ibu bapak di ujung sana terlihat mengulum senyum. Setelah agak dekat Nasywa akhirnya berkata, "Jawabnya 'wa'alaikum'"
"Ya.. Aku gak tahu gimana cara jawab salam kalo yang ngucapin beda akidah sama kita, Nas hehe."
Sekarang beberapa teman dekat kawan yang tadi mengucap salam mulai mendekatinya. Mereka bergantian mengucapkan selamat hari raya. Kami berempat hanya diam mematung. Tak beranjak sedikitpun untuk memberi ucapan yang sama.
"Emang boleh gak sih kita ngucapin selamat untuk hari raya non-muslim?" tanya Almira setelah geng itu ngeloyor ke kantin.
"Itu kan cuma ucapan," sahut Dewi. "Asal kita gak meyakininya gak apa kan?"
"Sekarang aku tanya Wi, kalo orang masuk islam caranya gimana?"
"Ngucapin dua kalimat syahadat."
"Kalo orang nikah?"
"Yah ijab qabul lah."
"Nah, itu kan juga pake kalimat. Apa itu bisa dikatakan 'cuma' kalimat?" pertanyaan Nasywa membuat Dewi berpikir. "Kalimat syahadat yang diucapkan itu menjadi tanda bahwa seseorang itu masuk islam. Sedangkan kalimat dalam ijab qabul yang menjadikan sah tidaknya pernikahan."
"Kalo kita ngucapin selamat untuk hari raya non-muslim artinya sama aja kita meng-iya-kan bahwa Tuhan itu lebih dari satu, Nas?" simpul Almira.
Nasywa memberi jempolnya, "Pinter."
"Kalo orang non-muslim suruh ngucapin dua kalimat syahadat pasti juga gak mau kan karena itu artinya mereka masuk islam? Apa itu 'cuma' kalimat?" Nasywa kembali menerangkan.
"Lakum diinukum waliyadin. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku." Aku mengutip surat Al-Kafirun ayat 6.
"Ooh.. Jadi bukan berarti kita gak toleran ya dengan gak ngucapin selamat?" Dewi  paham.
"Yup. Toleransi kan bisa diwujudkan dengan cara saling menghormati saat pemeluk agama lain sedang beribadah, rukun hidup bertetangga mereka dan berbagai cara lainnya."
“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong (termasuk berita bohong bahwa Nabi Isa adalah Tuhan, pen) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (An-Nuur : 15)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Sungguh ada seseorang yang mengucapkan suatu kalimat yang membuat Allah murka, ia menganggap perkataan itu biasa saja, padahal hal itu menjerumuskannya ke dalam neraka Jahannam sejauh 70 tahun perjalanan”
(HR. Bukhari dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al-Albani).
Tiba-tiba kangen sama sobat rempong, mbak Andri, mbak Inet, mbak Mey, mbak Erna, mbak Fian dan mbak Rina. Dikelilingi orang-orang Sanguins membuat hidup saya jadi lebih ceria. Mereka yang blak-blakan, suka mengemukakan apapun yang terlintas dalam benak mereka. Bayangan kebersamaan itu kembali berkelebat dalam benak. Mulai dari ngobrol seru di ruangan mbak Inet yang cuma berukuran 2x3 meter. Ruangan itu diisi kami bertujuh yang heboh mengangankan masa depan kami. Mulai dari angan bertetangga saat semua sudah berkeluarga nanti (dulu kebanyakan dari kami masih single). Keinginan untuk tinggal berdekatan dan membesarkan anak-anak bersama dibumbui dengan celetukan yang lain. "Nanti kalo tetanggaan, kita malah gak ngurusin anak-anak, malah asyik ngobrol dewe hehehe." Sampai touring ke berbagai tempat yang kebanyakan tanpa rencana. Justru jalan-jalan yang kita rencakan malah gak pernah jalan hmm.
Kangen saat ke museum Sampoerna, kebun bibit dan pantai kenjeran di Surabaya. Seringnya mbak Fian dan mbak Rina gak ikut karena udah merid. Jadi, kita berlima yang boncengan kemana-mana. Kebanyakan sih diisi acara foto-foto karena pada sadar kamera, terutama mbak Mey dengan pose andalan kaki agak ditekuk hihihi. Sementara Mbak Erna lebih suka moto dan hasilnya bagus. Terus pernah juga jalan gak jelas ke alun-alun Madura cuma buat makan bubur trus pulang. Udah gitu aja? Iya. Yang jelas waktu itu ada yang pengen naek kapal. Seru aja bisa bareng-bareng sama mereka. Dan yang paling mengesankan saat liburan ke Kediri naek motor ke rumahnya mbak Inet. Kita jalan-jalan ke Pantai, Simpang Lima, foto-foto dan menghabiskan nite time yang diisi cerita seru. Miss them all..
Apa yang kau pikirkan saat mendengar berita kematian? Ngeri? Kaget? Atau justru senang? Senang? Yup, para sahabat di zaman Rasulullah justru memandang kematian sebagai sebuah hal yang menggembirakan. Senang, sebab mereka akan bertemu rabb-Nya. Kematian adalah sesuatu yang indah karena mereka akan meninggalkan dunia fana yang penuh derita. Ahay, lebay!
Etapiii.. Di zaman now kek gini kalo denger salam dari masjid kita mungkin malah bergidik ngeri karena isinya berita kematian. Dan anehnya kita malah kabur begitu liat mayit digotong keluar rumah untuk disholati. Padahal kata Nasywa pahala mengantar mayit itu gedeee bingit. Nganterin mayit dari rumahnya sampai menyolatkan plus nyampek ke kubur sebesar dua qirath (gunung Uhud) (H.R.Bukhari 1325).
Kematian itu yang menggelisahkan hati Quadruplet Squad pagi ini. Si sholihah Nasywa izin gak masuk kuliah gegara ibunya meninggal dunia, tepat di hari ibu. Kebayang kan gimana nyeseknya. Soo, akhir pekan ini kami bertiga cus meluncur ke rumah Nasywa di sebuah desa asri nan adem nun jauh di puncak gunung.
"Beneran nih rumahnya Nasywa di daerah sini?" tanya Dewi setelah kami naik bis selama 3 jam dan turun di sebuah gang besar.
 "Heem.. Tinggal naek ke puncak gunung sono noh," tunjukku.
Kami bertiga pun naik len yang membawa kami naik. Di kanan dan kiri jalan tampak berbagai tanaman sayuran dan buah-buahan yang tumbuh subur.
"Enak ya disini kalo mau masak tinggal metik aja," Almira tampak excited dengan pemandangan asri yang dilihatnya di luar jendela.
Setelah 30 menit perjalanan, kami pun nyampek. Bukan di depan rumahnya Nasywa, tapi masih di depan gangnya. Setelah nanya-nanya ternyata rumahnya ada di ujung jalan. Byuh, harus jalan kaki lagi nih untuk nyampek kesono.
Akhirnya setelah nyari stok nafas yang ngos-ngosan, kami melihat banyak orang berkerumun di satu rumah sederhana dengan halamannya yang luas. Nah, itu pasti rumahnya Nasywa.
Gadis itu pun menyambut kami dengan senyum yang dipaksakan. Matanya masih terlihat sembab.
"Aku nyesel banget gak langsung pulang pas dapet kabar kalo ibu sakit," kisah Nasywa begitu kami duduk di atas lantai semen yang beralaskan tikar.
"Keadaan yang gak memungkinkan. Waktu itu kan kita lagi ada UAS," kata Almira mencoba membesarkan hati Nasywa.
"Sabar ya Nas," hanya itu yang bisa kuucapkan.
"Semoga ibumu diampuni dosanya dan diterima segala amal ibadahnya," doa Dewi.
"Aku nyesel gak bisa ngerawat dan liat ibu di saat-saat terakhirnya. Aku berharap bisa talqin beliau tapi... Tapi..." Nasywa mulai sesegukan.
"Setiap yang bernyawa itu pasti akan mati. Jadi ini udah takdir. Gak usah nyalahin diri kamu sendiri," Dewi turut menenangkan.
"Kamu pernah bilang sama kita kalo setiap perkara orang yang beriman itu baik. Jika dia diberi ujian, dia akan sabar dan jika dia diberi kenikmatan, dia akan bersyukur," kata Almira.
"Iya gaes, makasih ya." Kami berempat pun berpelukan. Dalam haru, aku, Dewi dan Almira berusaha menyembunyikan air mata yang diam-diam tumpah.
"Hai girls," sapa Almira ceria. Eits tapi ada yang beda nih sama penampilan cewek satu ini. Pashmina hijau tosca menjuntai hingga ke pinggang dipadu dengan jubah cantik warna senada. Lho, beneran nih.. Almira pake hijab?
"Kamu.. Pake hijab sekarang, Mir?" tanya Dewi retoris. Ia membelalakkan matanya shock.
"Iya, Wi. Doain ya semoga bisa istiqomah," Almira menyunggingkan seulas senyum. Ia terlihat semakin cantik dengan hijabnya. Gadis itu emang cantik dari sononya. Tapi apa yaa.. Ada aura berbeda yang terpancar darinya.
"Gimana ceritanya, Mir?" Aku penasaran. Apa karena celetukan Nasywa beberapa pekan lalu yang membuat Almira insyaf.
Almira terdiam sejenak kemudian bercerita. Ia memutuskan berhijab setelah ia bermimpi tentang kematian. Di mimpinya, ia meninggal dunia. Cewek itu melihat jasadnya yang ditangisi keluarga, kerabat, tetangga dan teman-temannya. Ia lantas melihat dirinya dimandikan, disholati dan diantarkan ke kuburan. Setelah semuanya beres, para pengantar meninggalkannya sendirian di dalam kubur yang sempit dan gelap. Lalu malaikat datang dan menanyainya. Ia disiksa sebab dosa-dosa yang dilakukannya semasa hidup di dunia.
Ah, kematian memang nasehat terbaik.
"Dalam hadits Muttafaq alaih disebutkan bahwa andai kita mengetahui apa yang Nabi ketahui tentang kematian dan alam akhirat niscaya kita akan sedikit tertawa dan lebih banyak menangis." Nasywa mulai bertausiyah.
"Kalian kapan nih nyusul pake hijab?" senyum Almira mengembang lebar. Senyum yang membuat aku dan Dewi merenung.
"Belum dapet hidayah, hehe." Dewi  menjawab santai.
"Hidayah itu dijemput, bukan ditunggu. Caranya ya dengan menambah ilmu agama dan bergaul dengan orang-orang sholih. Masak udah temenan lama sama Nasywa ga ketularan alim," nasihat Almira.
"Aku pengen jilbabin hati dulu, Mir." Dewi mencoba mengelak.
"Perintah untuk berjilbab itu gak pake syarat kita harus bener dulu. Justru dengan berjilbab perilaku kita akan mengikuti baik dan jilbab melindungi diri kita dari kejahatan," terang Almira. Rupanya dia sudah jadi Nasywa KW super sekarang.
Aku dan Dewi menunduk. Nasywa sudah lama berhijab. Almira kini mengikuti jejaknya. Jadi, kapan kami juga akan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya? Aku menangis dalam hati. Mengaku cinta pada Allah dan Rasulullah, tapi perintah keduanya saja masih belum dijalankan. Hey Sasa, apa kau berharap akan mendapatkan syafaat Rasulullah? Apalagi mengharap pertolongan Allah di hari dimana tidak ada pertolongan kecuali pertolongan dari-Nya.
Aku hanya takut. Takut memulai. Takut tidak bisa istiqomah berhijab. Dan sederet ketakutan lain yang jika di deret akan seperti jemuran di musim hujan. Numpuk. Ah, setan emang rajanya bikin was-was. Robbi, ampuni hamba..
Siang itu si populer lagi asyik nongkrong di gazebo kampus. Pasti lagi wifi-an tuh anak. Hmm, bener kan.. Dan yang dilihat juga gak jauh-jauh dari grup penyanyi asia yang lagi jejingkrakan. Dari dekat kulihat Almira lagi niruin gaya dance mereka. Duh #nepukjidat. Tuh anak urat malunya udah putus kali yak. Gak peduli dilihatin ama yang lain. Ngerasa dunia milik sendiri. Aku heran gimana dia bisa jadi populer dengan kelakuannya yang bikin geleng-geleng kepala.
"Kamu liatin video klip K-Pop lagi, Mir," protes Nasywa dengan raut wajah ditekuk. Nasywa memang sudah berkali mengingatkan Almira agar tidak heboh mengidolakan mereka, tapi dia masih kerasukan oppa-oppa cantik itu.
"Hehe.." Yang kena tegur malah nyengir kuda.
"Adekku yang masih kelas 1 SD juga pinter niruin gaya mereka," Dewi nimbrung sembari memperhatikan 11 orang cowok dengan setelan jas yang sedang menari.
"Jangan boleh liat gitu ah, Wi," timpal Nasywa.
"Dia liat dari hape temennya di sekolah. Trus temen-temennya pada heboh ngomongin si boy band ini."
"Anak-anak SD sekarang udah pada pinter ngakses internet," aku ikut berkomentar.
"Iya, kasian mereka. Pasti mereka lebih kenal sama para personel boy band itu daripada sama Rasulullah," Nasywa tampak benar-benar sedih.
"Sepupuku yang masih kecil bilang kalo girl bandnya seksi," kali ini Almira memutar video girl band yang lagi naik daun.
"Astagfirullah.." Nasywa mengelus dada.
"Mereka liat iklan di tv yang pake soundtracknya nih girl band Nas, bukan aku yang ngajarin," Almira menerangkan.
"Kenapa sih kamu suka banget sama  flower boys itu? Tahu gak, kemarin aku liat di tv kalo sekarang di Korea ada yang namanya make up for men. Jadi laki-laki Korea itu udah gak malu pake make up, mulai dari maskara, pelembab bibir de el el. Ckckck," kata Dewi.
"Iya Mir, entar kalo jalan bareng gak bisa bedain lagi mana yang cowok, mana yang cewek. Soalnya sama-sama cantik dan pake make up semua," Aku membayangkannya dan tertawa sendiri.
"Make up for men?" Almira kayaknya baru tahu info ini. "Duh, kalo itu bikin ilfil yah. Masak cowok pake make up. Aku bukannya ngefans sama mereka sih, cuma ngikutin yang lagi nge-hits aja. Lucu aja."
"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban," Nasywa membuka mushaf Al-Qur'annya. Kali ini dia membacakan tafsir surat Al-Isra ayat 36.
"Ngikutin sesuatu yang lagi hits itu gak selamanya selalu baik. Kita harus pinter milih lebih banyak mudharat ato manfaatnya," Dewi menyimpulkan.
"Yup. Artis-artis asia itu aslinya mungkin gak cantik ato ganteng. Mereka oplas," timpalku.
"Itu kan haram ya, Nas?"
Pertanyaan Dewi dijawab Nasywa dengan tafsir surat An-Nisa ayat 119 "Dan akan aku (setan) suruh mereka mengubah ciptaan Allah lalu mereka benar-benar mengubahnya."
"Belum lagi yang cowok dandannya kayak cewek." Aku menambahkan.
"Dalam hadits riwayat Ibnu Abbas Rasulullah bersabda yang intinya Allah melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki."
Almira terlihat merasa bersalah dan mulai mematikan videonya. Ia lalu membuka file K-Pop dan mengklik tombol delete.
"Yang cewek mengumbar aurat dan yang cowok gak jaga pandangan." Dewi masih lanjut mencari madharatnya.
"Perintah untuk menutup aurat dengan mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh dan tidak menampakkan perhiasan kecuali kepada mahram serta menjaga pandangan ada dalam surat Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31. Jadi, kalian bertiga kapan nih jadi semakin cantik dengan jilbab?"
Kali ini bukan hanya Almira yang kikuk, tapi aku dan Dewi juga tertohok dengan pertanyaan Nasywa barusan.
Denger-denger cerita dari Dewi kalo si Nasywa baru aja ditembak. APHAaaa??? Yang bener aja! Siapa cowok nekat yang berani nembak Nasywa. Gak liat kerudungnya dia aja lebar menjuntai.
"Anak departemen lain yang biasa nongkrong di gazebo itu loh," jawab Dewi saat aku menanyakan siapa yang berani nembak Nasywa. Dia mengaduk-aduk segelas jus melon yang baru saja dipesannya. Saat itu Almira dan Nasywa masih ada kelas.
"Nasywa anaknya ramah sih. Mungkin ia gagal paham dan dikiranya suka."
"Hmm," Dewi mengacungkan telunjuknya tanpa berkomentar. Ia asyik menyeruput minumannya.
"Trus Nasywa bilang apa?"
"Intinya sih dia gak mau pacaran, tapi nanti langsung nikah setelah ta'aruf. Kalo memang serius silahkan datangi orang tuanya."
"Woooo... Dan akhirnya si cowok mundur teratur?"
"Yap. Nasywa kan pernah bilang kalau di dalam Al-Qur'an surat Al-Isra ayat 32 disebutkan agar kita tidak mendekati zina karena itu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk."
TOK, TOK, TOK. Seorang kakek berusia sekitar 50 tahun lewat di jalanan depan kampus. Beliau memukul-mukul cobek batu dengan ulekan seraya menuntun sepeda tuanya. Di atas boncengan sepeda terdapat tempat untuk menaruh cobek jualannya.
"Pak," panggil Dewi. Gadis itu berjalan mendekat ke arah penjual cobek. Ia terlihat berbincang beberapa lama kemudian kembali sambil membawa sebuah cobek berukuran besar.
"Kamu mau ronda, Wi. Kok bawa-bawa kentongan," ledekku. Dewi kan gak bisa masak. Masak air aja gosong, hehehe.
"Kasian deh Pak Abdullah," Dewi duduk di sebelahku sambil memangku cobek yang baru saja dibelinya. Tak menghiraukan ledekanku.
"Pak Abdullah?" tanya Almira.
"Iya, bapak penjual cobek itu. Beliau jauh-jauh ngayuh onthel dari rumahnya di Pakis kesini buat jualan cobek."
"Pakis kesini kan jauh. Satu jam kalo naek motor," komentar Nasywa.
"Makanya itu. Beliau bilang kalo di tempatnya udah banyak yang jualan cobek karena disana pusat pengrajin cobek. Makanya beliau jualan sanpek sini," cerita Dewi.
"Lah, emang anaknya kemana? Bapaknya udah sepuh kok masih kerja?" tanya Almira.
"Anak Pak Abdullah udah nikah dan tinggal sama istri dan anaknya di rumah mertua. Mereka tinggal di pulau seberang. Istrinya gak ngizinin suaminya untuk pulang ke rumah orang tuanya. Bahkan pas ibunya meninggal pun gak dateng. Parah banget kan," Dewi geleng-geleng kepala. Terdengar helaan nafasnya berat.
"Ya Allah, kasian banget Wi. Istrinya udah meninggal. Beliau hidup sendiri. Anaknya gak berbakti lagi," Nasywa menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Belilah, meski kamu tidak membutuhkannya," ucap Dewi menasehati kami. "Makanya itu aku beli cobeknya. Yah lumayan buat ganjel pintu kosan yang ngrik-ngrik," kelakar Dewi.
"Masyaaallah Wi.." tak sadar aku memujinya. Selama ini Dewi memang sering menghentikan para penjual yang sudah sepuh atau memiliki keterbatasan fisik. Dewi membeli barang dagangan mereka padahal ia tidak membutuhkannya. Pernah ia membeli mainan anak-anak, makanan yang tak disukainya atau daster. Buat apa coba.. Ternyata itu alasannya. Subhanallahu, sungguh mulia hatimu, Nak hihihi.
"Tidaklah seseorang beriman (secara sempurna) hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri," kata-kata Nasywa yang mengutip hadits Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45 kembali terngiang di kepala.

"Haduw, berair lagi nih mataku. Udah gatel, perih lagi," Aku mengucek mata sekenanya.
"Iya Sa, merah tuh mata kamu," Dewi memperhatikan mataku, lantas ia memalingkan wajahnya. Takut tertular.
"Eh, jangan diucek Sa," komentar Nasywa.  "Nih, tisu." Gadis berkerudung itu menyodorkan satu pak lembaran putih. Aku mengambil satu.
"Kenapa sih kamu, kok bisa merah gitu matanya?" tanya Almira. "Habis ngintip ya," ledeknya diiringi tawa cekikikan.
"Yee.. Enak aja. Gak tau nih, tiba-tiba aja bangun tidur udah kayak gini. Haduw, malah hari ini aku ada ujian pake komputer. Gimana coba.. Belum lagi entar kalo pas pulang lewat jalanan yang baru diperbaiki. Duh, debunya gak nahan."
"Hmm.. Gini baru kerasa ya kalo satuuu aja nikmat-Nya diambil," Almira menerawang ke langit-langit kampus. "Iya, pas mata lagi sakit kayak gini, kita baru ngerasa kalo nikmat-Nya tuh banyak banget." Tumben Almira komentarnya ala Nasywa. Semoga aja dia gak salah makan, wkwkwk.
"Asikin aja lah Sa, seenggaknya kamu masih punya mata dan bisa ngeliat," ceplos Dewi. Anak ini emang suka ngomong gak pake saringan. Yang baru kenal Dewi gak jarang ngerasa tersinggung sama perkataannya.
"Yap, jika kita bersyukur, nikmat itu akan ditambah oleh-Nya. Tapi jika kita kufur, ingatlah adzab-Nya sangat pedih," ucap Nasywa mengutip surat Ibrahim ayat 7.
"Di panti sosial bina netra yang aku kunjungi bulan lalu orang-orang disana aja masih  bercanda dan tertawa lebar," kisah Dewi.
Astagfirullah. Aku jadi tertohok. Kebanyakan mengeluh. Kurang syukur.
Antri kamar mandi yang udah kayak antrian sembako gak sadar ngomel. Jalanan dari kosan ke kampus macet udah bikin mulut ini nyap-nyap. Tugas bejibun bikin bete. Sakit dikit udah ngerasa kayak dunia kiamat. Belum lagi aku suka ngerasa kayak sebutir debu yang nyasar diantara kilauan berlian saat ngeliat temen-temen Quadruplet Squad. Almira yang populer, Dewi yang punya jiwa sosial tinggi ato Nasywa yang shalihah. Aku mah apa atuh.
But helloooww.. Come on Sasa. You are not the most miserable person in the world! Look around and you will find that there are sooo many people who are suffering more than you.
Gak usah deh ngasihani diri sendiri cuma karena hal remeh temeh yang gak sepatutnya diributin itu. Alhamdulillah Sa, kamu masih diberi panjang umur, sehat bin waras, masih ada duit buat ongkos ini-itu, punya tempat tinggal, keluarga yang baik, orang tua yang lengkap, temen-temen yang solid, bisa kuliah dan bla bla bla. Masih ada sederet kenikmatan yang gak bisa aku sebutin satu per satu saking banyaknya. Oke, mulai sekarang aku harus berbenah. Semangat Sasa!
Ini kami. Saat semua orang punya teman dekat a.k.a sahabat, kami juga gitu. Bukan bermaksud nge-gang sih, cuma secara gak langsung kayak ada gaya gravitasi aja yang narik kita untuk deket sama orang lain yang punya kesamaan dengan kita. Tapi anehnya kami tuh punya karakter yang jauuuh banget. Kami menamai diri kami Quadruplet Squad. Agak susah ya nyebutnya. Entah siapa yang ngusulin tuh nama. Yang pasti nama itu punya makna tersendiri. 
Kalo kata Almira, salah satu cewek yang populer di kampus, "Aku pengen persahabatan kita kayak anak kembar empat alias Quadruplet. Trus kita kan tim kompak, jadi Squad juga bagus."
"Betul tuh," sahut Dewi sang aktivis kampus. "Semoga kita gak cuma jadi sahabat, tapi kayak saudara yang ngerasain susah seneng bareng." 
"Sahabat sampai ke surga," imbuh Nasywa. "Seseorang itu tergantung pada agama temannya. Oleh karena itu, salah satu diantara kalian hendaknya  memperhatikan siapa yang ia jadikan teman." Nah, mulai lagi deh tuh keluar haditsnya. Kali ini Nasywa mengutip hadits riwayat Tirmidz no. 2378. Yap, dia ini tipikal gadis sholihah.  Kerudungnya saja menjulur lebar. 
Aku cuma manggut-manggut. Enggak komen. "Setuju aja sih," ujarku singkat. 
Dan dari sinilah perjalanan kami dimulai.