Ketika hari
Senin tiba, maka akan terdengar suara-suara dalam bahasa arab yang lebih sering
dicampur dengan bahasa ibu. Kebanyakan yang tertangkap telinga adalah “ma
makna...?” (apa artinya...?”) yang
dilanjutkan dengan kalimat-kalimat dalam bahasa Indonesia.
“Kenapa
lebih sering menggunakan ‘ma makna’ saja?” tanya saya. Anak-anak kan sepekan
tiga kali ada pelajaran bahasa arab, jadi saya rasa mufrodat (kosakata) yang
mereka hafal sudah lumayan. Tapi yang terdengar pada hari Senin, Rabu dan Kamis
saat hari bahasa arab didominasi oleh kata-kata itu.
“Iya
Bu, kalau mengatakan ‘ma makna’ boleh pakai bahasa Indonesia,” jawab salah
seorang diantara mereka yang bertubuh kurus kecil.
Beberapa diantara mereka melakukan hal tersebut sebagai trik agar tidak terkena konsekuensi. Mereka
takut terkena konsekuensi