Ketika hari Senin tiba, maka akan terdengar suara-suara dalam bahasa arab yang lebih sering dicampur dengan bahasa ibu. Kebanyakan yang tertangkap telinga adalah “ma makna...?” (apa artinya...?”)  yang dilanjutkan dengan kalimat-kalimat dalam bahasa Indonesia. 
                “Kenapa lebih sering menggunakan ‘ma makna’ saja?” tanya saya. Anak-anak kan sepekan tiga kali ada pelajaran bahasa arab, jadi saya rasa mufrodat (kosakata) yang mereka hafal sudah lumayan. Tapi yang terdengar pada hari Senin, Rabu dan Kamis saat hari bahasa arab didominasi oleh kata-kata itu.
                “Iya Bu, kalau mengatakan ‘ma makna’ boleh pakai bahasa Indonesia,” jawab salah seorang diantara mereka yang bertubuh kurus kecil.
               Beberapa diantara mereka melakukan hal tersebut sebagai trik agar tidak terkena konsekuensi. Mereka takut terkena konsekuensi

W-E-L-C-O-M-E...


















Please read this...
My mom always tells me that "helping other people means we help ourselves". Found the story this morning, I would like to post it here...

One day, a poor boy who was selling goods from door to door to pay his way through school, found he had only one thin dime left, and he was hungry. He decided he would ask for a meal at the next house. However, he lost his nerve when a lovely young woman opened the door. 

Instead of a meal he asked for a drink of water. She thought he looked hungry so brought him a large glass of milk. He drank it so slowly, and then asked, How much do I owe you?" 

You don't owe me anything," she replied. "Mother has taught us never to accept pay for a kindness." 

He said ... "Then I thank you from my heart." 

As Howard Kelly left that house, he not only felt stronger physically, but his faith in God and man was strong also. He had been ready to give up and quit. 

Many year's later that same young woman became critically ill. The local doctors were baffled. They finally sent her to the big city, where they called in specialists to study her rare disease. 


Siang itu, seorang siswa berdiri di ambang pintu kelas lantas berkata, “Bu, bahasa inggrisku bagaimana?” Aku kemudian menghampirinya. “Kenapa?” tanyaku. Aku dibuat bingung oleh pertanyaannya barusan. Maklum saja, sudah hampir setahun ini aku tak mengajarnya dan tiba-tiba ia menanyakan pertanyaan seperti itu.

“Maaf ya Bu, dulu aku nangis di pojokan situ...” tunjuknya ke sudut kelas. “Malu aku...”

Memori otakku teringat kejadian beberapa bulan lalu, saat siswa tersebut masih duduk di kelas 7. Kala itu ia mengeluh padaku, “Kenapa sih aku nggak bisa pelajaran matematika dan bahasa inggris?” Ia merutuki dirinya sendiri. Merasa kesal karena perlu waktu lebih lama dibanding teman-temannya untuk menguasai materi yang kuajarkan. Butiran bening mengaliri pelupuk matanya. Ia berusaha menyembunyikan tangis yang menyembul di wajahnya. Menutupinya dengan kedua lengannya di atas meja. Aku berusaha menenangkannya sebisaku. Menceritakan kisah Thomas Alfa Edison. Belajar meyakinkannya bahwa ia mempunyai kelebihan lain yakni di bidang tahfidz dan menulis. Kedua bola mataku sudah hampir tergenangi air melihatnya kala itu, namun berusaha kutahan agar tak tumpah. 

“Nggak apa. Terus semangat ya...” ujarku ketika melihatnya beranjak pergi setelah mengucapkan kalimat tadi.

Ah, siswa itu. Ia adalah siswa yang

 مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ
[رواه البخاري ومسلم]
Terjemah hadits:
 Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Imam Ghazali dalam kitab Ikhya' Ulumuddin mengklasifikasikan perkataan menjadi empat macam:
1. Perkataan yang mengandung kemadzaratan (keburukan) saja.
2. Perkataan yang mengandung unsur kebaikan.
3. Perkataan yang mengandung unsur kebaikan dan kemadzaratan (keburukan).
4. Perkataan yang tidak ada manfaat dan keburukannya. 

Berdasarkan hadits diatas, Imam Ghazali menegaskan bahwa kita diminta diam untuk perkataan yang mengandung kemadzaratan (keburukan) saja dan perkataan yang mengandung unsur kebaikan dan kemadzaratan (keburukan). Selain itu, kita diminta untuk menghindari perkataan yang tidak ada manfaat dan keburukannya karena perkataan semacam ini adalah perkataan yang tidak berguna. Selanjutnya untuk perkataan yang mengandung unsur kebaikan, memang sebaiknya disampaikan, namun kita harus berhati-hati ketika menyampaikkannya. Karena bisa jadi dalam perkataan semacam ini terselip beberapa bahaya lisan.

Bahaya lisan tersebut, masih dalam kitab Ikhya' Ulumuddin, antara lain:
On Friday, 18th April 2014, Imela, Melia, Emila, Lamie and Amile went to Madura. They passed the island using boat. In Madura, they visited Trunojoyo University. After that, they went to the town square to enjoy pisang ijo and meatball. Finished enjoying the island, they went back by passing Suramadu bridge.

Pass Madura via sea

Go back via Suramadu bridge

They continued their journey to Surabaya. In this city, five of them visited House of Sampoerna after lost for one hour! 

Owners' cars collection











In the first room, they saw the imitation of owner's stall, bikes and private stuffs such as kebaya household utensils.
8th C and 8th D

8th D (Zoom)

7th D

7th C_my class

Jangan salah baca, ini bukan “Sex & The City”, tapi “Text & The City”, sebuah acara yang digelar secara “keroyokan” oleh berbagai komunitas di Surabaya, dalam rangka memeringati Hari Buku Dunia 2014. Acara ini diselenggarakan dari tanggal 12 April hingga 4 Mei 2014, bertempat di Perpustakaan Bank Indonesia Surabaya, Taman Mayangkara.
“Text & The City”, mengangkat kepedulian warga kota Surabaya akan literasi. Semangat Walikota Surabaya, yang ingin menjadikan Surabaya sebagai kota literasi, didukung oleh warganya secara penuh. Hampir setiap sudut taman, kota, dan kampung, dibentuk berbagai taman bacaan hingga perpustakaan. Tak heran kalau Surabaya meraih penghargaan Millenium Development Goal (MDG) Award di bidang pendidikan, khususnya perpustakaan umum.
Acara di Perpustakaan BI Surabaya ini menjadi satu
Jika...

Jika aku seorang sanguinis, alangkah indahnya hariku karena aku akan menjadi makhluk yang paling ceria di muka bumi ini. Oh sanguins, aku ingin sekali menjadi sanguins. Selalu tampak bahagia, lepas, seolah tanpa beban. Bebas mengekspresikan apa yang ada dalam dirinya. Punya banyak kawan yang bisa diajak bicara tanpa perlu khawatir kehilangan kata-kata. Sanguins, tak ada habis-habisnya bercerita banyak hal. Mengobrol ini-itu. Menjadi miss populer. Ah, asyiknyaaa...

Tapi... terkadang perkataanku membuat orang lain tak nyaman. Mengatakan apapun yang ada dalam pikiran tanpa memfilternya juga tak baik. Mungkin akan lebih baik jika aku sedikit seperti miss calm.

Hmm, mungkin aku juga bisa memilih menjadi seorang melankolis, karena apa? Karena aku terkadang bekerja seenaknya, seolah tanpa beban, sehingga pada akhirnya tertunda atau tak beres. Just let it flow! Ok, nyantai sih boleh saja, tapi setidaknya aku ingin lebih baik lagi dalam menyelesaikan tugasku.


Jika...

Jika aku seorang kholeris, aku pasti
"Apa itu tahta?" Kalimat itu yang didengungkan Heo Yeon Woo, putri mahkota, pada sang raja saat mereka menghadapi masalah pelik. Kalimat tersebut mencerminkan keresahan sang gadis yang sudah terlalu banyak menanggung derita dan kesedihan akibat perebutan kekuasaan yang mau tak mau melibatkan dirinya.


Serial korea "the Moon that Embraces the Sun" menceritakan mengenai kehidupan kerajaan Korea dimana keluarga kerajaan khususnya raja sebagai otoriter. Perintah raja wajib dipatuhi, jika tidak itu artinya pengkhianat. Keluarga kerajaan yang seolah hidup mewah dan bahagia didalam istana megah, ternyata tidaklah seperti kelihatannya. Apa yang ada di dalam istana semuanya tak lebih dari permainan politik. 

Tahta, yang tak jauh dari kata harta, mereka perebutkan. Pemilihan putri mahkota pun tak lepas dari unsur politik. Lihat saja bagaimana perdana menteri yang gila kekuasaan menghalalkan berbagai cara untuk menjadikan putri semata wayangnya sebagai putri mahkota baru atau calon ratu. Termasuk
Omiyage hari ahad, 13 April 2014.

Untuk menjadi seorang muslim yang lebih baik dari sebelumnya, ada lima hal yang dapat dilakukan untuk menjadikan kita sebagai manusia yang utama, yakni:

1. Selalu istiqomah dalam beribadah.
Sebagai manusia adakalanya mempunyai keimanan yang naik dan turun. Ketika iman sedang berada di puncak, maka ibadah dilakukan dengan penuh suka cita. Baik ibadah wajib maupun yang sunnah. Namun jika iman sedang turun, ibadah wajib terkadang tertunda. Sementara ibadah sunnah lewat. Akan tetapi bukan tidak mungkin bagi kita untuk menstabilkan naik-turunnya keimanan kita. Dengan senantiasa melakukan ibadah-ibadah tertentu setiap harinya semoga pada akhirnya dapat menjadikan kita istiqomah.


2. Ikhlas dalam melakukannya.
Ibadah yang diterima oleh Allah adalah ibadah yang dilakukan dengan ikhlas karenaNya. Ikhlas dalam artian tidak mengharapkan imbalan apapun. Murni hanya mengharapkan ridha Allah. 
Seorang santri Imam Ghazali, seorang ulama pengarang kitab Ikhya' Ulumuddin, pernah bermimpi bertemu beliau setelah wafatnya. Santrinya bertanya apakah amalan beliau yang menulis begitu banyak kitab dan menyebarkan ilmu kepada santrinya yang banyaklah yang membuat Allah ridha. Namun beliau mengatakan bahwa amalan yang diterima oleh Allah bukanlah amalan beliau tersebut, tapi amalan lain yang dianggap remeh. 
Pada saat beliau sedang menulis kitab, seekor lalat hinggap di atas botol tintanya. Jika beliau ingin melanjutkan menulis, itu artinya beliau harus mencelupkan alat tulisnya ke dalam tinta. Sehingga beliau akan mengusir lalat yang sedang minum itu. Akan tetapi beliau yang kasihan pada sang lalat membiarkan lalat tersebut minum sampai kenyang dan pergi terbang. Dan amalan itulah yang diterima oleh Allah. Amalan yang meskipun terlihat kecil namun dilakukan dengan ikhlas. 

3. Berputus asa akan kenikmatan yang dimiliki orang lain.

Sore itu, adek laki-laki saya lagi galau. Ceritanya dia dapet tugas bikin majalah dari dosennya. Meski majalahnya cuma dua lembar, tapi cukup bikin dia mumet. Yang bikin galau adalah karena dia belum bisa nge-lay out.nya plus belum nulis artikelnya. Artikel yang isinya narsis. Suruh nulis tentang dirinya sendiri. Hoho, pasti nggak laku kalo majalahnya dijual. Peace, dek! ^^v

Jadilah saya mengeluarkan majalah-majalah saya dari rak paling atas dan mulai mencari-cari majalah bergambar model laki-laki. Mulai dari gambar Afgan, Derby Romeo, Kim Joon sampai Lee Min Ho. Langkah pertama, adek saya minta difotoin buat tugas majalahnya. Oke, akhirnya nyari contoh pose yang pas buat difoto. Saya suruh berdiri di pojokan sambil pasang tampang cool kayak posenya Min Ho, dia langsung action. Saya minta gaya setengah badan niruin Kim Joon dia mau. Sampai saya suruh jongkok pun iya-iya ajah. Hehehe, saya cekikian melihatnya. Dia bergeming. Tidak menggubris tertawaan saya. Terpaksa tak berkomentar dan mau melakukan apa yang saya instruksikan demi tugasnya. Padahal biasanya dia

                Uang... Sebenarnya apa itu uang? Alat pembayaran yang sah? Kertas dan logam yang memiliki nominal? Atau apa? Uang, rasanya bukan lagi sekedar kertas dan logam yang memiliki nominal dan digunakan sebagai alat pembayaran. Namun, apakah ia sudah bertransformasi menjadi sesuatu yang amat dipuja dan disembah layaknya Tuhan? Apakah kemudian uang sendiri telah dianggap Tuhan, yang tanpanya manusia takkan bisa hidup? Ah, betapa tidak! Mendapati dua kisah dibawah ini rasanya cukup menjadi bukti akan adanya orang-orang yang mencari cara untuk bisa mengeruk rupiah. Meski cara itu dapat dikatakan mendzalimi orang.

Beberapa tahun lalu, seorang sahabat pernah bertutur tentang hal ini. Dia, yang adalah seorang model, merasa dirampas haknya. Ceritanya, ia ingin mengcopy foto dirinya dalam balutan busana cantik dari kamera sang fotografer yang sudah dibayar oleh majalah tempatnya bekerja. Namun teman saya hanya bisa mendapatkan fotonya

Siang itu, dua orang sepupu kecil saya, Janice dan Elin, tengah asyik menikmati hari mereka. Elin yang baru berumur 1 tahun berjalan mondar-mandir. Mengamati Janice, sang kakak, yang sedang seru-serunya menonton film kartun sambil sesekali berjoget. Saat saya, ibu dan nenek mereka masuk, si kecil langsung menghambur. Meletakkan pantatnya di sebelah neneknya. Sang nenek kemudian mengupas rambutan yang ibu bawa. Memotongnya kecil-kecil dan menyuapkannya ke mulut si balita mungil. Elin duduk tak bergeming menikmati buah manis itu. Padahal biasanya ia begitu aktif berlarian kesana-kemari. Tak bisa duduk diam dalam waktu yang lama.

Sementara Janice yang berumur 3 tahun masih asyik dengan film kartunnya. Ia hanya sesekali menghampiri kami. Ditawari rambutan pun hanya menggeleng. Lantas kembali menggoyangkan tubuhnya di depan televisi. Elin yang kini sudah menghabiskan dua buah rambutan mulai menengkurapkan tubuhnya di lantai. Kami ajak ngobrol pun diam saja. Tak seperti biasanya. Ia malah terpekur mengamati ibu saya. Matanya tampak sayu. Ah, mungkin dia sudah mengantuk. Maklum saja, jam sudah menunjukkan pukul 11.30. Waktunya bagi anak-anak untuk tidur siang.

Tak lama kemudian, si sulung Jessica yang baru pulang bermain di rumah temannya berlari masuk ke dalam rumah dengan raut kesal. Ia

Kerumunan wanita yang rata-rata sudah berumur lebih dari setengah abad memenuhi pelataran desa. Beberapa dari mereka bahkan sudah beranak cucu. Warna hijau mendominasi kerumunan tersebut. Mereka duduk di atas terpal oranye di bawah rimbun pepohonan. Tangan kanan ibu-ibu itu sibuk mengipas-kipas. Entah dengan kipas kain segitiga bergambar, kipas bentuk lingkaran yang biasa digunakan untuk mengipasi sate ataupun kardus bekas makanan ringan yang sudah ditekuk-tekuk. Maklum saja, sinar mentari bersinar cukup terik pagi itu. Sementara para pedagang terlihat sudah siap menjajakan dagangannya. Mulai dari bakso, lontong kikil, dan yang lainnya.
Para ibu yang datang pagi itu sungguh terlihat ceria. Setelah membaca yasin, mereka mendapat jatah istirahat kira-kira 45 menit untuk kemudian dilanjutkan dengan ceramah agama. Waktu yang cukup lama untuk digunakan membeli beragam makanan yang tersedia. Mereka sibuk makan lantas ngobrol banyak hal. Menggoda cucu perempuan kawannya. Lantas sesekali tertawa.
Melihat ibu-ibu sepuh yang tengah beristirahat, pedagang pun bergantian menghampiri. Ada pedagang jajanan semacam kripik, jagung, jipang, dll lalu pedagang ketan atau nasi goreng.


Disusul dengan pedagang kerudung, keset, ulegan (alat penggiling pasangan cobek) sampai pedagang yang menjual kapur barus, amplop, tutup panci dan kawan-kawannya. Ah, heboh benar! Aku terpaku mengamati para wanita sepuh itu. Beberapa sibuk mengunyah kikil. Yang lainnya sibuk membeli ketan. Menyulurkannya dari satu orang ke orang lain. Sementara kerumunan yang lain asyik memilih ulegan. Menekannya di atas tanah. Sisanya malah membaringkan tubuhnya sembari ngobrol.
Hmm, saya yang datang menemani ibu kini paham cerita beliau tentang penyegaran pikiran di pengajian.