Lengkingan suara puluhan anak terdengar seiring langkah kaki mereka yang berebutan menuju tempat yang dituju. Beberapa diantaranya tertawa. Beberapa yang lain mencoba jahil dengan mendesak tubuh temannya. Yang lain bergumam tak jelas sampai terbatuk-batuk. Aura ceria menghiasi wajah mereka pagi ini. Ah, sungguh bahagia melihatnya.

Kelas yang diisi dengan anak-anak yang aktif, antusias dan responsif. Diminta melakukan game, mereka langsung semangat. Disuruh mencatat, segera ambil alat tulis tanpa banyak protes. Saat pelajaran berlangsung pun banyak yang aktif menjawab ke depan kelas. Beberapa diantaranya juga aktif bertanya. Dengan menggunakan bahasa inggris, tanpa diminta. Bahkan saat saya keceplosan menggunakan bahasa Indonesia, mereka yang dengan percaya diri menggunakan bahasa inggris.

Hmm, atmosfer kelas yang benar-benar menyenangkan.
“Would you marry me?” ujar seorang laki-laki seraya bersimpuh di atas lututnya. Tangan kanannya menyerahkan sebuah benda berbentuk bulat kepada sang wanita.
            ...
Seorang gadis tengah asyik menikmati es krim di hadapannya. Di depannya seorang pria muda mengamatinya. Tiba-tiba mulut perempuan mungil itu mencecap sesuatu yang asing. Sebuah benda keras berbentuk lingkaran. Ia keluarkan benda tersebut dan mendapati sebuah cincin.
“Maukah kau menjadi ibu dari anak-anak kita?” kata sang pria.
...
Hmm, dua skenario film yang kerap muncul dalam drama televisi. Ketika sang pria pada akhirnya menyatakan proposalnya. Mengajak sang wanita tuk menjadi sahabat sejiwa. Mengarungi bahtera rumah tangga. Skenario yang mungkin menjadi gambaran ideal sebagian besar wanita. Pun menjadi suatu hal yang dianggap romantis. Namun, apa benar demikian? Apakah romantisme itu hanya bisa dikaitkan dengan hal-hal semacam itu?