Tanggal 09 Juni 2013 anak-anak kelas 7 dan 8 di sekolahku mengadakan kegiatan outbond karakter sekaligus rihlah bersama. Outbond yang diadakan kali ini bertujuan untuk membentuk karakter kepemimpinan dan kerjasama siswa. Kegiatan ini juga sekaligus sebagai sarana rihlah atau jalan-jalan untuk melepas penat selama satu semester. Dan kebetulan aku yang kebagian tugas untuk mendampingi anak-anak bersama dua orang guru lain. Jadilah kami berangkat ke tempat tujuan, yakni Bakti Alam, yang berlokasi di Pandaan. Perjalanan ditempuh dengan menggunakan tiga buah mini bus dalam waktu dua jam. Selama perjalanan, anak-anak terlelap dalam tidur panjangnya, hehehe...
Sesampainya disana, kami melewati sebuah jembatan gantung yang di kanan-kirinya terhampar berbagai macam tumbuhan hijau liar nan alami.
Tak lama menunggu, kereta kelinci pun datang.
Pemberhentian pertama adalah tempat pemerahan susu sapi. Di tempat ini, kami mencoba memerah susu sapi secara bergantian. Bagiku pemerahan ini tidaklah mudah. Aku berkesempatan mencobanya dan hanya mendapatkan beberapa tetes susu sapi segar.
“Jangan ditekan, Mbak. Dipijit dari atas... Pake perasaan merahnya,” begitu kata Mas penjaganya.
“Ya gimana Mas, suruh pake perasaan. Wong aku memang agak-agak takut memerahnya,” batinku.
Lanjut.....!!! Setelah heboh memerah susu sapi, beberapa orang anak-anak malah sibuk bereksyen di depan kandang sapi. Mereka asyik jepret sana-sini sambil menutup hidung atau tak bernafas, hihi... Untuk beberapa anak yang memang mempunyai keingintahuan yang luar biasa, khususnya anak-anak kelas 7, mereka malah sibuk mengerumuni seorang pria penjaganya. Ia bercerita kalau ada seekor sapi yang baru melahirkan anak.
“Ini anak sapi yang baru dilahirkan sejam yang lalu.” Ia memulai penjelasan.
“Ari-ari anak sapi ini baru bisa diambil nanti sore atau besok pagi. Besarnya segumpalan tangan.“
“Berapa berat anak sapinya, Pak?” seorang anak bertanya.
“Anaknya 30 kg. Kalo induknya sekitar 600 kilo.”
“Wuiih...” komentar anak-anak kembali bergemuruh di udara.
“Ini induk dari sapi yang baru dilahirkan itu. Biasanya susunya kita perah dapet 15 liter. Yang 3 liter untuk anaknya, yang 12 liter kita olah.”
“Gimana minumnya, bisa langsung dari induknya?” tanya anak-anak lagi.
“Ya kita minumkan.”
“Terus gitu gimana melahirkannya, Pak?” celetuk seorang anak.
“Ini mengandungnya 9 bulan sama seperti ibu-ibu biasanya. Kalo melahirkan duduk kayak gini. Yang ini juga lagi hamil,” tunjuknya pada seekor sapi yang lebih besar yang tengah duduk. “Nanti anaknya keluar kaki dan kepalanya. Terus air ketubannya pecah. Jadi harus kita tungguin.”
“Gak tidur lak’an, Bapak?”
“Ya ditunggunya pas udah ada tanda-tanda kalo mau melahirkan seperti gelisah, duduk-berdiri, gak mau makan, ekornya dikibas-kibas.”
“Aaaah.....” Anak-anak kompak berteriak akibat terciprat kibasan ekor si sapi jumbo. Mereka pun mundur beberapa langkah.
“Sapi-sapi yang ada disini semuanya betina, tidak ada pejantannya. Jadi kalo pejantan nggak dikembangkan disini, cuma dijadikan sapi potong.”
“Lha kalo nggak ada pejantannya gimana?”
“Ya pake saya.”
Anak-anak langsung heboh mendapat jawaban seperti itu, meski aku paham maksudnya. Melihat raut penuh tanda tanya di wajah anak-anak Bapaknya langsung melanjutkan, “Iya, pake saya. Saya yang ngawinkan. Ngasih inseminasi buatan. Disuntikkan gitu ke betinanya.” Setelah beberapa lama, ia kembali menjelaskan. “Kalo syarat kawinnya, umurnya 1,5 tahun, berat minimal 250 kilo dan sudah mens.”
“Lho, mens juga. Bla, bla, bla...” Anak-anak langsung ribut menerima informasi yang baru mereka ketahui ini.
“Mens sapinya ini biasanya intervalnya 24 hari, jadi hampir sama seperti kalian kalo mens. Sapi ini kalo umur 4 tahun sudah punya anak dan jadi induk.”
“Wah, kalo kita umur 4 tahun masih kecil...” celetuk mereka lagi.
“Nah, yang disebelah sana itu,” tunjuk Bapak penjaga pada sapi yang bercorak cokelat. “Itu sapi cokelat yang dikawinkan dengan sapi potong. Yang ini...” Kali ini ia menunjuk seekor sapi putih tanpa tanduk. “Ini sapi bule.”
“Wuiih... bule... kalah kita sama sapi...” Anak-anak kembali heboh.
“Itu dari New Zealand. Sebenernya sapi itu aslinya dari Belanda, cuma dikembangkan di New Zealand. Kalo di Belanda banyak sapinya. Perbandingannya sapinya seribu, orangnya cuma dua. Tapi bedanya sama sapi lokal cuma dari tanduknya. Kalo sapi lokal tanpa tanduk, kalo yang dari luar nggak ada tanduknya. Tapi ini bisa di-horning, kok.”
Horning?
“Iya, dihilangkan tanduknya. Jadi dari pas masih kecil udah dihilangin tanduknya pake alat. Nanti besarnya udah nggak bertanduk.”
Entah karena keingintahuan yang meluap-luap atau malah karena kehabisan pertanyaan, seorang anak bertanya, “Ini kok kotor Pak, kandangnya? Nggak dibersihkan ya?”
“Barusan saya bersihkan ini. Lihat sudah bersih semua. Kalo yang ini kan baru. Kotorannya gini biasanya bisa dijadikan biogas.”
“Biogas?”
“Iya. Mau lihat?” Kami pun diajak ke belakang kandang. Disana terdapat sebuah benda dari semen yang berbentuk seperti sumur kecil.
“Disini biogasnya diolah. Perbandingan air dan kotorannya 1:1. Itu diaduk rata, terus kalo sudah kayak jus, penutup yang disebelahnya itu dibuka. Selanjutnya ini masuk ke kubah besar disitu. Didalam sini ada semacam kubah seperti kubah masjid gitu.”
“Selanjutnya bakteri anaerob mengeluarkan gas metan lalu dialirkan ke pipa gas yang disana untuk memasak,” jelasnya lebih lanjut.
“Lalu ini dialirkan lagi 100 meter untuk pemanas air hangat. Disebelah atas sana itu ada pemandian air hangat yang sumber pemanasnya dari biogas ini.”
“Waaaah.....” Anak-anak tampak kagum.
“Kalo untuk penduduk bisa dibuat penerangan meski lampu padam. Bisa jadi generator.”
Setelah itu, kami diajak menikmati susu segar yang diolah dari peternakan yang sudah kami kunjungi.
Lalu kereta kelinci datang beberapa saat setelah kami menikmati segelas susu segar. Kami pun dipandu untuk berkeliling perkebunan yang ada disini. Beberapa anak kelas 7 langsung menyerbu. Aku pun duduk di depan menemani mereka. Lantas seorang laki-laki muda berusia sekitar 20-an berdiri dibelakang pengemudi sembari membawa mikrofon.
“Selamat datang di wisata Bakti Alam. Nama saya X... (aku lupa namanya), yang akan memandu kalian. Disebelah kiri kalian ini yang dinamakan melon golden langkawi, asalnya dari Thailand. Ciri-cirinya warnanya kuning keemasan kemudian bijinya kecil, tapi dari segi kandungan rasa melon ini lebih renyah. Nah ini khusus buat kalian semuanya. Nanti kita bisa mencobanya. Ada pemberhentiannya nanti.” Sang pemandu terus nyerocos sepanjang perjalanan.
Kami melewati sebuah tempat pemberdayaan bibit-bibit buah. “Yang sebelah kanan ini melon golden langkawi. Ini masih dalam bentuk bibit. Yang ini sekali panen, umurnya 2 bulan 10 hari. Ok, baik sebentar lagi kita akan berhenti sejenak. Nanti kalian semua bisa menikmati melon golden langkawi ini.”
“Ok, baik tunggu sebentar.” Pemandu itu pun turun ketika kami melewati pos dengan tenda hijau kecil yang didalamnya duduk sekitar empat orang pria.
“Enak, tapi terlalu sedikit.” Komentar salah seorang anak.
“Kalo mau banyak beli sendiri,” sahutku.
“Akhirnya bisa makan golden Thailand.” Anak yang lain berbisik kepada teman yang duduk di sebelah kirinya.
“Ustadzah, melonnya renyah, Ustadzah...” komentar yang lain.
“Di sebelah kanan kalian ada lahan untuk tanaman srikaya. Namanya srikaya Australia. Bedanya dari daun buahnya.” Kereta pun berjalan beberapa meter. “Tengok juga sebelah kanan, pohon buah naga.”
“Mana buah naganya?” Anak-anak celingukan mengamati tanaman buah naga.
“Nah, di Bakti Alam ini ada tiga macam varian warna ya. Ada warna merah, putih dan warna?”
“Ungu.”
“Ungu ya merah itu. Dan kuning. Tapi yang warna kuning itu warna luarnya, dalamnya tetap putih. Yang paling manis itu yang warna putih. Lalu yang itu tempat menanam semangka. Didalamnya ada plastik dan itu dinamakan gundukan.”
Selesai berkeliling perkebunan, kami menikmati segelas jus yang disediakan di tempat welcome drink dekat tempat penjualan suvenir. Didepannya berdiri dua orang badut berkostum sapi. Para pengunjung mengerumuni keduanya untuk berfoto bersama. Setelahnya, anak-anak bersiap untuk outbond. Di lapangan outbond, anak-anak dipandu untuk bermain ular-ularan, menari sampai merayap di tengah hujan yang tiba-tiba turun dengan lebatnya.
Selebihnya ada tempat menginap, tempat penjualan buah dan es krim, taman bunga dan wahana seperti ATV. Juga salah satu sudut cantik yang bisa dijadikan tempat eksyen seperti ini.
Ok, itu semua rangkuman perjalanan kali ini. Semoga harimu menyenangkan! :)

“Are you the teacher?” pernytaan itu yang kerap terlontar dari beberapa orang yang kutemui saat aku mengantarkan anak-anak didikku untuk mengikuti sebuah perlombaan.
Pernah suatu kali, aku mengantar lima orang siswa untuk mengikuti speech contest di salah satu universitas negeri di Surabaya. Saat itu kelimanya memakai baju bebas. Dan pada saat kami sampai, kutanyakan pada seorang gadis yang memakai jas almamater dimana tempat lombanya.
“Iya, disini. Mau ikut lomba ya?” begitu katanya.
Lantas kelima muridku itu menandatangi daftar hadir peserta. Namun mereka kebingungan saat diharuskan mengisi nomor telepon. Maklum saja, sekolah tempatku mengajar adalah sekolah berasrama alias pondok, sehingga para siswanya tidak diperbolehkan membawa handphone.
“Ini gimana, Ustadzah?” tanyanya.
Dan saat itulah si mbak-mbak panitia baru sadar kalau aku gurunya. Ia memintaku untuk mengisi daftar hadir guru pendamping. Tapiii, pas aku mengisi daftar hadir itu, panitia lain yang menjaga meja registrasi malah memperingatkanku, “Lho, itu untuk gurunya.”
Aku hanya diam sementara temannya menyahut, “Iya, itu gurunya.”
Kejadian yang sama kembali terulang pada saat aku mengantar tiga orang siswi untuk mengikuti lomba debat pun kejadian yang sama terulang kembali. Saat itu aku mengantar mereka untuk berdebat di sebuah SMA negeri di Sidoarjo. Kebetulan lomba debat yang diadakan adalah open debate. Jadi para pesertanya adalah siswa-siswa SMP, SMA dan mahasiswa.
Nah, pada saat aku menunggu anak-anak yang sedang berdebat di musholla yang ada disana, seorang wanita muda bertanya padaku, “Mbak, kelas berapa?”
“Saya sudah lulus.”
“Kuliah semester berapa kalo gitu?”
“Saya gurunya.”
“Oh, bilang dong Mbak dari tadi kalo gurunya. Tak kira yang ikut lomba.”
Ya, bisa dimaklumi memang karena postur tubuh anak-anak memang lumayan besar sementara aku terlihat masih muda untuk menjadi seorang guru. Hihi...

P. S: This story is created by tangled mind. Every single thing in this story is a fiction. If there is a resemblance on the story, character or place, it’s just a coincidence. Please don’t enjoy it!

“Do it, now!” commanded it.
“Yes, prop.”
“Finish it today!”
“No matter, prop.”
“I want you to WORK OVER-HARD for the sake of me! I have so many things for you to do, so HOLIDAY and SPARE TIME is out of mind. You must realize this, that, these and those, so keep in mind that you have to PUSH yourself to do it. Have fun is a SIN. Just work, work and work!”
“Roger, prop.” *sounds like a robot*
“Good.” It smiles complacently. “My installation is successful. They are all in my control now.” It murmurs.
“So, what you have learnt?” tests it.
“My_ program_ is_ created_ to_ do_ what_ you_ command_ me_ to_, to_ think_ of_ what_ you_ believe_, and_ to_ say_ what_ you_ want_ me_ to_”
“Very good.” It looks satisfied. “No comment, no asking questions, just do it. They call me ‘RODI’, They named me ‘ROMUSHA’. No matter what it is, I am the TYRANT. So, all you have to do is doing my command. Hahahahaha!”

Moral story: Run away when you meet an unidentified frightening creature unless your brain will be eaten. It’s a zombie or the tyrant, anyway? ;p