Dimuat di harian Jawa Pos kolom Opini Mahasiswa Selasa, 27 Juli 2010

SETELAH lulus SMA, tidak sedikit para pelajar yang memilih untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas. Ekspektasinya adalah setelah mendapatkan gelar sarjana, mereka mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan mendapatkan gaji tinggi. Oleh karena itu, lulusan SMA berbondong-bondong mendaftarkan diri ke perguruan tinggi negeri (PTN).

Seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNM PTN) bisa jadi salah satu alternatif memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Lulus seleksi yang dilaksanakan secara bersama oleh seluruh PTN itu merupakan hal yang mereka dambakan. Sedangkan bagi yang tidak lulus, akan terbersit rasa kecewa dalam hati.

Namun, gagal SNM PTN bukanlah akhir dari segalanya. Tidak semua lulusan perguruan tinggi yang lolos SNM PTN setelah mendapat gelar sarjana terserap ke dunia kerja. Fakta menunjukkan bahwa jumlah pengangguran intelektual bahkan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pengangguran intelektual pada Februari 2007 berjumlah 740.206 orang. Hasil survei serupa pada Februari 2008 menunjukkan total pengangguran intelektual mencapai 1.461.000 orang atau meningkat 1,02 persen dari 2007. Pada 2009 pengangguran sarjana 626.600 orang dan diploma 486.400 orang atau sebanyak 1.113.000 pengangguran intelektual.

Bagaimana hal itu bisa terjadi? Kebanyakan bangku perkuliahan hanya mendidik mahasiswa dengan teori-teori sehingga membentuk lulusan yang menguasai masalah secara teoritis saja. Lebih lanjut, mahasiswa dicetak hanya sebagai output yang siap pakai di dunia kerja, bukan sebagai pribadi yang mampu menghasilkan lapangan pekerjaan (kewirausahaan).

Sebagaimana yang dikatakan Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Depdiknas Fasli Jalal, munculnya pengangguran di tingkat sarjana terjadi karena sebagian besar lulusan perguruan tinggi adalah pencari kerja (job seeker). Bukan pencipta kerja (job creator). Penyebab lain, rendahnya keterampilan di luar kompetensi utama mereka sebagai sarjana.

Perguruan tinggi, khususnya PTN, sebenarnya dapat merubah sistem pengajaran. Tidak menyuapi mahasiswa dengan teori-teori saja, tetapi menantang mereka untuk menemukan teori baru atau penemuan yang berdaya guna. Bisa juga, dengan membentuk unit kegiatan mahasiswa yang dapat meningkatkan aktivitas kewirausahaan di kalangan mahasiswa.

Bagi mahasiswa yang belum berhasil melewati SNM PTN, dapat dicari alternatif lain. Salah satunya, institut atau sekolah tinggi yang mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja. Jadi, tak perlu berlarut-larut meratapi kegagalan SNM PTN.
Dari Sihir Afrika hingga Gereja Maradona

Penulis : Andy Marhaendra
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal : 280 halaman
Tahun terbit : 2010

Buku ini adalah sekumpulan kisah unik nan menarik yang terangkum selama piala dunia. Sepak bola tidak hanya menampilkan setumpuk kejadian di atas lapangan, tetapi juga menyisakan peristiwa menyentuh yang melibatkan para pemainnya. Dari Sihir Afrika hingga Gereja Maradona menceritakan manifestasi sisi kemanusiaan dalam dunia sepak bola. Banyak pemain yang terlibat perseteruan di lapangan namun kemudian berbaikan selepas pertandingan berakhir.

Buku ini ditulis dengan bahasa populer yang memikat. Terdapat empat tema besar didalamnya. Line Up merupakan tulisan mengenai profil, Warming Up berisi tulisan yang bertema semangat, Injury Time membahas hal-hal unik, dan Tackling yang berisi tentang permusuhan, preview pertandingan, dan masalah supporter sepak bola.

Salah satu kisah favorit saya adalah cerita tentang insiden antara Jerman dan Belanda pada laga final Piala Dunia 1990 di Italia. Frank Rijkaard, gelandang Belanda mendapat kartu kuning karena menjegal Rudi Voeller, striker Jerman. Sambil berlalu ia meludahi rambut Voeller. Beberapa saat kemudian keduanya diusir oleh wasit keluar lapangan. Rijkaard kembali meludahi Voeller ketika mereka berdua berjalan beriringan keluar lapangan. Rijkaard menyesal akan perbuatannya itu. Dia sebenarnya menghormati Voeller. Akan tetapi karena kesal mendapat kartu merah, dia melakukan hal yang tak pantas. Begitu peluit panjang ditiupkan, dia pun meminta maaf kepada pemain Jerman itu. Voeller pun memaafkan. Setelah bertahun-tahun kemudian, keduanya kerap menertawakan bersama insiden tersebut.

Sang penulis, Andy Marhaendra, adalah mantan wartawan olahraga di Majalah Tempo dan Koran Tempo. Sebagai seorang yang lama terlibat di dunia olahraga, karyanya ini dapat memperkaya wawasan seputar Piala Dunia. Membaca buku ini adalah hal yang tepat untuk merenungkan kelapangan hati agar saling memaafkan. Ketika membaca, kita jadi teringat bagaimana sebuah kata maaf mengandung nilai yang begitu mendalam. Sebuah buku yang layak untuk dibaca.